
Reporter
Hari IstiawanJumat, 3 Mei 2019 - 11:55
Editor
Hari Istiawan
Logo Bank Indonesia
JATIMNET.COM, Jakarta – Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto mewaspadai sejumlah tantangan yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan domestik.
"Kami perlu mencermati tantangan-tantangan ke depan. Pertama terkait prospek pertumbuhan ekonomi yang masih melambat. Ini terjadi di tengah risiko sistem keuangan global yang masih tinggi," ujar Erwin, Jumat 3 Mei 2019.
Tantangan lainnya, lanjut Erwin, adalah terkait dengan permasalahan global yang semakin kompleks. Sebagai contoh yaitu permasalahan perdagangan antara dua raksasa ekonomi yaitu Amerika Serikat (AS) dan Cina, yang tampaknya lebih luas dari sekadar perang dagang.
"Ada masalah rivalitas yang meruncing di antara kedua negara tersebut. Jika ini akar permasalahannya, maka tensi perang dagang akan berlangsung lebih lama," kata Erwin.
BACA JUGA: BI Tambah Titik Penukaran Uang Baru Saat Lebaran
Contoh lain yang juga menambah kompleksitas perekonomian global dewasa ini adalah terkait kesinambungan model bisnis ekonomi digital sebagai mesin pertumbuham ekonomi global, terutama model bisnis unicorn.
Kemudian, tantangan berikutnya yaitu terkait dengan risiko ketidakpastian yang meliputi pasar keuangan global. Saat ini, beberapa indikator yang mencerminkan risiko ketidakpastian mulai mereda.
Namun, Erwin menekankan bahwa saat ini lingkungan sangat dinamis dan dapat membuat ketidakpastian karena persepsi dan respons pelaku ekonomi menjadi semakin mudah akibat banyaknya data dan informasi yang tersedia.
Menurutnya, dalam ilmu ekonomi, jenis ini merupakan ketidakpastian yang datangnya dari sesuatu hal yang tidak kita kenali sehingga persoalan yang dihadapi menjadi semakin pelik.
BACA JUGA: BI Yakin Inflasi Saat Ramadan dan Lebaran Terkendali
“Respons pelaku ekonomi menjadi tidak mudah diduga. Hal ini menyebabkan risiko ketidakstabilan menjadi bertambah besar, meskipun fundamental ekonomi terjaga," ujar Erwin.
Dari sisi domestik, Erwin menyebut perekonomian di Tanah Air dihadapkan pada tataran stabilitas sistem keuangan berupa terjadinya lingkaran setan atau lingkaran tak berujung (vicious circle) terkait dengan ketersediaan pembiayaan, produktivitas yang rendah, dan perekonomian yang lemah.
Selain itu, terdapat risiko stabilitas sistem keuangan lainnya. Pertama, terkait dengan peningkatan kebutuhan pembiayaan eksternal korporasi.
Seperti diketahui, ekspansi korporasi yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir membutuhkan dukungan pendanaan eksternal baik berasal dari dalam maupun luar negeri. Beberapa korporasi memilih pendanaan dari luar negeri. Aksi korporasi untuk mencari pendanaan dari luar negeri tersebut seiring masih rendahnya suku bunga global.
BACA JUGA: BI Jatim Prediksi Kebutuhan Uang Baru Rp 33,4 Triliun
Selanjutmya, terkait risiko ketergantungan bank pada pendanaan ritel (retail funding). Di tengah ruang ekspansi kredit yang masih cukup besar, kecenderungan perlambatan pendanaan ritel berpotensi menimbulkan risiko likuiditas. Dalam jangka panjang, instrumen likuid terindikasi akan semakin menipis seiring dengan meningkatnya pendanaan ritel.
"Retail funding juga berpotensi meningkatkan persaingan harga dalam memperoleh dana pihak ketiga, khususnya pada bank-bank yang memiliki keterbatasn pada akses wholesale funding atau pendanaan besar," ujar Erwin.
Tantangan terakhir yaitu saat ini terjadi kesenjangan antara tabungan dengan investasi. Gap tersebut selama ini ditutup dengan investasi portofolio asing jangka pendek. "Ini perlu dicermati karena berisiko terhadap stabilitas sistem keuangan," katanya.(ant)