Selasa, 28 January 2020 11:26 UTC
Ilustrasi: GIlas Audi.
JATIMNET.COM, Surabaya – Aliansi Kota Santri Lawan Kekerasan Seksual (AKSLKS) mendesak kepolisian menahan MSA (39). MSA merupakan pengurus sebuah pondok pesantren di Jombang, yang diduga melakukan perbuatan asusila terhadap santri perempuan.
“Polda Jatim harus menahan tersangka, bukan sebagai tahanan kota. Karena selama ini MSA tidak patuh hukum dan tidak kooperatif,” kata Palupi Pusporini selaku aktivis Women Crisis Center Jombang sekaligus anggota aliansi, kepada Jatimnet.com, Selasa 28 Januari 2020.
Permintaan ini tak lepas dari Polda Jatim yang telah memberikan tenggat waktu selama sepekan, 21-28 Januari 2020 agar MSA menyerahkan diri. Namun, menjelang tenggat waktu yang diberikan, MSA yang sudah ditetapkan sebagai tersangka belum memenuhi panggilan polisi.
“Beberapa kali tersangka mangkir tanpa alasan yang jelas,” kata Palupi menjelaskan.
BACA JUGA: Ponpes Shiddiqiyah Jombang Minta Pihak yang Tidak Terlibat Hukum untuk Diam
Sebelumnya Polres Jombang melakukan pengusutan pada 29 Oktober 2019. Namun MSA mangkir tanpa alasan yang jelas. Saat itu polisi belum menyebut nama tersangka dan pesantren tempat terduga mengajar.
Kasus dugaan kekerasan asusila ini telah diambil alih Ditreskrimum Polda Jatim dengan alasan menghindari konflik horizontal. Polda Jatim memiliki kewenangan untuk memanggil MSA.
“Kalau tidak datang lagi, ya jemput paksa,” kata Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Pitra Ratulangi saat dihubungi Jatimnet.com, Sabtu 18 Januari 2020 lalu.
Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Pitra Ratulangi (tengah) di sela ungkap uang palsu. Foto: Dok Jatimnet.com
Berdasarkan janji yang disampaikan kepolisian, Palupi dan Women Crisis Center Jombang berharap tidak ada penyelesaian di luar hukum. Menurutnya hal ini membuat tersangka bebas berkeliaran. “Jangan sampai ada penangguhan penahanan,” Palupi menjelaskan.
Dugaan kekerasan asusila bermula saat korban mengikuti proses wawancara dalam rangka rekrutmen terbuka menjadi petugas klinik kesehatan di ponpes tersebut. Namun dalam prosesnya, MSA diduga menggunakan relasi kuasanya untuk memperdaya korban.
Sepuluh hari kemudian korban mendapat kabar peristiwa dengan modus serupa yang dialami santriwati lainnya.
BACA JUGA: Kasus Pencabulan Santri di Jombang Jadi Atensi Polda Jatim
“Korban merupakan perempuan yang diidamkan untuk menjadi istri. Sementara MSA punya hak prerogatif untuk menikahinya,” jelas pegiat Women Crisis Center Jombang itu, menirukan pernyataan korban.
Tersangka diduga melakukan berbagai cara bujuk rayu mengendalikan korban. Korban sempat mengadukan perbuatan tersebut ke pimpinan pesantren yang tidak lain bapak tersangka. Ia berkirim surat dan menceritakan modus tersebut.
Sayangnya, surat itu malah jatuh ke tangan MSA. Akhirnya korban dikeluarkan dari pesantren, dengan alasan mencemarkan nama baik pesantren. Atas dasar itulah, korban melapor ke Polres Jombang 29 Oktober 2019.
Palupi menyebut, pelaku melawan hak dan tanpa persetujuan korban sesuai Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. “Dapat dikategorikan sebagai tindak perkosaan dan perbudakan seksual,” tutup dia.
