Dyah Ayu Pitaloka

Selasa, 4 Desember 2018 - 08:17

TIAP kali gelisah dan tak nyaman di tempat baru, Terauci Kukuh Wima Prasetya (26) selalu ingin buang air kecil. Seperti hari itu, ketika ia dan tiga rekan satu sekolah mengunjungi Museum Mpu Purwa Malang, Minggu 25 November 2018 pekan kemarin.

Ini kali pertama bagi Wima pergi ke tempat asing tanpa didampingi orang tua. “Awalnya dia takut ke museum karena tak tahu seperti apa itu museum,” kata Ninik Suwarni, pendamping anak berkebutuhan khusus, pemandu perjalanan mereka.

Wima –juga tiga rekannya; Rizki, Haris, dan Bagas- adalah murid Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Autis Laboratorium Universitas Negeri Malang. Ada pun Ninik, ia pengajar yang telah bertugas selama 12 tahun di sekolah itu. Ada 30 siswa berkebutuhan khusus di SDLB ini, tapi hari itu hanya empat orang yang turut berkunjung ke museum.

Meski hanya segelintir siswa yang turut, Ninik bersyukur. Kedatangan ke museum tak sekadar untuk menyerap pengetahuan sejarah, tapi –yang lebih penting- mengenalkan anak didik pada ruang publik.

Misi itu pun lebih sulit. Dua jam menjelang kedatangan anak didiknya di museum, Ninik harus melakukan survei. Ia memastikan kondisi gedung tak berbahaya bagi anak-anak. Alasannya, tak semua ruang publik kondisinya ramah bagi penyandang disabilitas.

“Untuk memastikan anak-anak tidak tantrum di tempat baru,” katanya.

Tantrum dikenal juga sebagai ledakan emosi karena seseorang tak mampu mengontrol emosinya. Mereka bisa mendadak menangis, menjerit, hingga meluapkan kemarahan.

Siswa SDLB Autis Lab UM mengunjungi Museum Mpu Purwa Malang, Minggu 25 November 2018. LBH Disabilitas mencatat tak lebih dari 20 persen ruang publik di Jatim yang menyediakan sarana khusus bagi penyandang disabilitas. Foto: Dyah Ayu Pitaloka.

Beruntung, menurut dia, sarana dan fasilitas museum Mpu Purwa Malang sudah cukup bagus. Dengan fasilitas yang tersedia, anak merasa nyaman. Sehingga mereka pun bisa belajar lingkungan sosial di sekitarnya dengan aman.

“Anak-anak kami butuh membaur. Agar mereka tahu bahwa ada dunia selain rumah dan sekolah,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Museum Indonesia Jawa Timur Dwi Cahyono mencatat ada 56 museum di seluruh Jatim. Tersebar di berbagai kota dan kabupaten, jumlah terbanyak ada di Malang dan Surabaya. 60 persen di antaranya dikelola oleh pemerintah daerah.

Ia memerkirakan jumlah museum di Jatim akan terus bertambah. “Ada beberapa lagi yang akan buka,” katanya pada Jatimnet.com, Kamis 29 November 2018.

Sayangnya, ia melanjutkan, hanya 10 persen museum yang menyediakan fasilitas bagi disabilitas. Sumber persoalannya, banyak gedung museum menempati bangunan lama yang desain aslinya memang tak ramah disabilitas.

Itu berbeda dengan museum dengan gedung baru, yang sejak awal pembangunannya memang didesain dengan sarana penunjang disabilitas. “(Jadi) Ini bukan karena mereka abai,” katanya.

Museum Mpu Purwa menempati bekas sekolah dasar. Sebelum diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi pada 14 Juli 2018 lalu, proses renovasi gedung memakan waktu empat tahun. Toh sarana khusus bagi penyandang disabilitas belum terpenuhi; semisal lift, jalur khusus, hingga toilet.  

“Tadinya kami berpikir yang normal-normal, normatif ya, ternyata yang datang dari disabilitas juga,” kata Kepala Seksi Sejarah, Nilai Tradisi dan Permuseuman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Wiwik Wiharti Rodiah.

Meski demikian, ia membantah jika disebut abai dengan pengunjung disabilitas. “Ndak terlupa tapi normal saja,” katanya. Ia pun berjanji akan mengusulkan anggaran untuk menambah sarana bagi penyandang disabilitas pada tahun depan.

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 15 persen dari populasi penduduk. Jika merujuk pada data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk pada 2017 mencapai 261,9 juta jiwa. Itu artinya ada 39.285.000 penyandang disabilitas di Indonesia.

Sekretaris Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas Jawa Timur Abdul Syakur menyuguhkan persentase berbeda. “Versi WHO (organisasi kesehatan dunia) 10 persen, sementara estimasi Dinas Sosial 6 persen,” katanya, Rabu 27 November 2018.

Meski banyak versi, Ketua Disable Motorcycle Indonesia (DMI) ini meyakini jumlah itu terus bertambah. Kecelakaan kerja dan lalu lintas, serta bencana alam menjadi faktor penambahan terbesar. “20 persen anggota DMI di Surabaya berasal dari korban Laka Lantas dan kecelakaan kerja,” katanya.

Jumlah anggota DMI di Jatim, ia melanjutkan, mencapai 700 orang.

Desain grafis oleh Gilas Audi.

Ia mengatakan sesuai amanat Undang-Undang Disabilitas nomor 8 tahun 2016, penyandang disabilitas berhak mendapatkan sarana penunjang khusus di ruang publik. Bentuknya, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30 tahun 2006, di antaranya marka jalan, trotoar, tempat parkir, tramp, hingga toilet dan lift.

Selain sarana fisik, juga ada fasilitas nonfisik. Misalnya saja aplikasi komputer khusus tunanetra dan papan pengumuman khusus untuk tunarungu. Seluruh sarana itu, kata dia, sebagai jaminan agar penyandang disabilitas mendapat kesempatan yang sama dengan warga bukan disabilitas.

Meski regulasi itu sudah dibuat sejak dua tahun lalu, penerapannya belum maksimal hingga kini. Lembaga Bantuan Hukum Disabilitas mencatat tak lebih dari 20 persen ruang publik di Jatim yang menyediakan sarana khusus bagi penyandang disabilitas.

Direktur LBH Disabilitas Hari Kurniawan mengatakan di beberapa daerah, semisal Surabaya dan Malang, penyediaan sarana khusus itu memang sudah cukup bagus. “(Tapi di) daerah lain masih sangat kurang, apalagi museum, aksesibilitasnya sangat sedikit,” katanya.

Padahal, ia mengingatkan, pengabaian atas sarana disabilitas bisa dijerat denda Rp 500 juta atau penjara maksimal lima tahun.

Catatan redaksi: Dalam kalimat "Direktur LBH Disabilitas Hari Kurniawan mengatakan di beberapa daerah, semisal Surabaya dan Malang, penyediaan sarana khusus itu memang sudah cukup bagus" yang benar bukan Surabaya dan Malang, tapi Surabaya dan Jember. Redaksi mohon maaf atas kesalahan itu. 

Baca Juga

loading...