Logo

Urgensi Reklamasi Terhadap Penambangan Gumuk di Kabupaten Jember

Reporter:,Editor:

Jumat, 31 December 2021 06:20 UTC

Urgensi Reklamasi Terhadap Penambangan Gumuk di Kabupaten Jember

Ilustrasi.

Eksistensi gumuk pasir saat ini terancam punah, khususnya di Kabupaten Jember. Melihat kenyataan luasannya semakin lama semakin menyempit dan terbatas. Gumuk merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sehingga memerlukan perlindungan dan pengelolaan terhadap gumuk. 

Beragam pemanfaatan lahan dilakukan di kawasan tersebut, seperti tempat wisata, permukiman, pertanian, peternakan, dan perkebunan. Bukan hanya itu saja, aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan secara langsung adalah aktivitas penambangan sekaligus sebagai pembuangan sampah juga dilakukan di gumuk pasir. Beberapa aktivitas tersebut seolah bertolak belakang dengan asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Kabupaten Jember, salah satu bagian dari Provinsi Jawa Timur yang memiliki luas wilayah sebesar 3.293,34 km2. Secara geografis kabupaten yang satu ini berada di 7059'6" hingga 8033'56" Lintang Selatan dan 113016'28" hingga 114003'42" Bujur Timur.

Dilihat secara letak geografis dan topografi, Kabupaten Jember mendapat julukan sebagai Kota Seribu Gumuk. Di samping itu Kabupaten Jember memiliki bentang alam yang cenderung unik. Salah satu keunikan tersebut adalah sebaran gumuk. Sebaran gumuk di kabupaten Jember terletak pada Kecamatan Arjasa, Sumbersari, Jelbuk, Sukowono, Kalisat, Pakusari, Ledokombo, Mayang dan Sumberjambe. 

Namun julukan “Seribu Gumuk” sudah mengalami penurunan akibat banyaknya Gumuk yang dieksploitasi sejah tahun 1990. Kecenderungan eksploitasi gumuk dilakukan di Kecamatan Sumbersari karena peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pembangunan infrastruktur. 

Eksploitasi tersebut hingga saat ini terus meningkat dan akan berdampak besar bagi kerusakan ekosistem makro di Kabupaten Jember. Beberapa identifikasi dampak dari eksploitasi gumuk berupa: penurunan jumlah mata air serta berkurangnya daerah resapan air, penurunan keanekaragaman hayat, dan hutan.

Jumlah miniatur hutan kota, berfungsi sebagai daerah penghasil oksigen serta karbon storage. Akan berpotensi terjadinya banjir dan tanah longsor yang cukup tinggi serta sering terjadinya angin puting beliung. Di mana salah satu fungsi gumuk adalah sebagai pemecah angin sehingga berkurangnya gumuk akan meningkatkan resiko bencana alam berupa angin puting beliung dan longsor.

Demikian juga eksploitasi gumuk yang terparah dikarenakan adanya aktifitas penambangan khususnya penambangan pasir dan batu-batuan. Tidak dilakukannya reklamasi terhadap penambangan gumuk yang dilakukan akan berpotensi mempengaruhi perubahan lingkungan hidup dalam skala besar maupun kecil tergantung dari teknis penambangannya.

Berdasarkan Pasal 96 huruf (c) UU Minerba serta Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang menjelaskan bahwa reklamasi lahan pascatambang merupakan kewajiban bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Sedangkan untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR) diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan daerah kabupaten/kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara selanjutnya disebut UU Minerba didefinisikan bahwa reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.

UU Minerba mewajibkan adanya kegiatan reklamasi lahan pascatambang sebagai upaya konservasi lingkungan hidup dan menjaga fungsi lingkungan hidup secara berkelanjutan.

Beberapa pengaturan tentang kegiatan reklamasi dan konservasi lingkungan hidup yang diatur dalam UU Minerba adalah sebagai berikut.

Pertama, kewajiban pemegang IPR untuk menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dalam melaksanakan kegiatan pertambangan merupakan upaya konservasi lingkungan hidup. Sebagaimana Pasal 70 UU Nomor 3 Tahun 2020 atas Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Dimana pemegang IPR wajib melakukan kegiatan penambangan paling lambat tiga bulan setelah IPR diterbitkan.

Kemudian mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku, mengelola lingkungan hidup bersama Menteri, membayar iuran pertambangan rakyat serta menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada Menteri.”

Kewajiban melakukan reklamasi ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan Pasal 96 huruf b UU Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan UU Minerba. Bunyinya, dalam penerapan kaidah pertambangan yang baik, pemegang IUP atau IUPK wajib melaksanakan  “Pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan, termasuk kegiatan Reklamasi dan/atau Pascatambang.”.

Ketentuan mengenai reklamasi diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukkannya. 

Tanggung jawab pelaku usaha pertambangan rakyat untuk menyelesaikan pelaksanaan kegiatan reklamasi lahan pascatambang yang telah dilaksanakan bersama pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1), ayat (2) masih belum diatur lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaannya.

Pada akhirnya menimbulkan potensi tidak diselesaikannya kegiatan reklamasi lahan pascatambang oleh pelaku usaha pertambangan rakyat. Sehingga diperlukan pengaturan lebih lanjut sebagai upaya penyelesaian atas kerusakan lingkungan hidup pascatambang. 

Meskipun secara yuridis ada perubahan kewenangan pemerintah daerah dalam pemberian Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) sebagaimana diatur di dalam Pasal 67 UU Nomor 4 Tahun 2009 yang kemudian kewenangan pemberian IPR menjadi kewenangan Menteri berdasarkan Pasal 67 UU Nomor 3 Tahun 2020 Atas Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009.

Dari situ maka peran pemerintah daerah akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) yang segera akan disusun. Namun daerah tetap akan mendapatkan manfaat bahkan diharapkan lebih besar setelah pengelolaan Minerba di daerah beralih ke pemerintah pusat. 

Sehingga pengelolaan dan pemanfaatan gumuk di Kabupaten Jember yang sudah terlanjur terlanjur dilakukan usaha penambangan perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah Kabupaten Jember, mengingat gumuk merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan memberikan banyak manfaat bagi ekosistem lingkungan hidup terlebih akhir-akhir ini sering terjadi bencana alam.

Penulis: 
Dodik Prihatin AN, SH., M.Hum.
(Dosen Hukum Pidana bidang Sumber Daya Alam Fakultas Hukum Universitas Jember)