Logo

Unicef Sebut Pernikahan Anak Masih Tinggi di Jawa

Reporter:

Rabu, 27 May 2020 05:44 UTC

Unicef Sebut Pernikahan Anak Masih Tinggi di Jawa

Penanggung jawab Geliat Unair, Nyoman Anita Damayanti di sela webinar tentang Pandemi Covid-19 & Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Jawa Timur. Foto: IST.

JATIMNET.COM, Surabaya - Unicef Indonesia membutuhkan peran pemerintah dalam rangka menekan pernikahan anak yang masih tinggi. Setidaknya tiga provinsi di Jawa yang meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat perlu dilakukan intervensi sebelum melakukan upaya serupa di daerah lain.

Child Protection Officer Unicef Indonesia, Derry Fahrizal Ulum, dalam keterangan tertulis yang dikirim Selasa 26 Mei 2020, mengatakan apabila ketiga porvinsi di Jawa Timur bisa diselesaikan, pemerintah telah berhasil menekan 50 persen pernikahan usia anak secara nasional.

“Sejauh ini prevalensi tertinggi diduduki Sulawesi Barat, namun secara absolut, peringkat tertinggi perkawinan usia anak di Indonesia ada di tiga provinsi di Pulau Jawa, yakni Jatim, Jateng, dan Jabar,” kata Derry Fahrizal Ulum.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2018 menyebutkan bahwa penurunan persentase perkawinan di bawah 18 dan 15 tahun cenderung melambat. Sementara di Jawa Timur sebanyak 12,71 persen anak perempuan usia 20-24 tahun pernah menikah sebelum usia 18.

BACA JUGA: WCC Sebut RKUHP Berpotensi Tingkatkan Angka Perkawinan Anak

Berdasarkan proyeksi Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, diperkirakan perkawinan anak perempuan mencapai 1.220.900.

Terkait dengan masa pandemi covid-19, Derry mengutip rilis dari beberapa lembaga di United Nation (PBB) menyebutkan, saat ini masih terlalu dini mengaitkan antara naiknya angka perkawinan usia anak dengan wabah corona.

“Dalam jangka panjang bisa saja berkorelasi. Karena ini berhubungan dengan masalah ekonomi dan terhentinya kegiatan di masyarakat,” Derry menambahkan. 

Dari sisi kesehatan reproduksi, penanggung jawab Program Geliat Universitas Airlangga Surabaya, Nyoman Anita Damayanti, menyatakan bahwa pengetahuan masalah kesehatan reproduksi sangat penting bagi setiap perempuan. 

BACA JUGA: Perempuan Hamil Gugat Kurir Karena Telat Antar Kondom

“Hasil penelitian yang kami lakukan sejak 2015 hingga saat ini diketahui, bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seorang perempuan, ada kecenderungan untuk tidak menikah di usia dini," jelas Nyoman Anita. 

Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Surabaya menambahkan tingginya pendidikan seorang perempuan, tidak menjamin mendapat pengetahuan seputar kesehatan reproduksi yang tinggi.

"Ini yang harus diwaspadai. Terlebih banyak perempuan yang tidak mengetahui risiko kehamilan di usia muda, meskipun pendidikannya cukup tinggi," lanjutnya.

Dia juga menyebutkan angka kematian ibu hamil di masa pandemi ini, sampai dengan April 2020, mencapai 180 kejadian. Hal lain yang perlu diperhatikan di masa pandemi ini terdapat 590 ribu perempuan di Jatim yang akan melahirkan. 

BACA JUGA: Bantu Tangani Covid-19, Satu Unit Disinfection Chamber Dikirim ke RSUA

Nyoman Anita Damayanti menyarankan agar segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan untuk menjamin keselamatan ibu dan bayi. Dalam kondisi saat ini banyak yang memilih untuk tidak mengunjungi fasilitas kesehatan dengan alasan memutus penularan Covid-19.  

"Ini yang perlu diwaspadai. Ancaman kematian ibu hamil akibat tidak mengunjungi fasilitas kesehatan," jelas Nyoman Damayanti. 

Sementara itu, Presidium Jaringan AKSI, Rani Hastari menuturkan terkait upaya menekan angka perkawinan usia anak, harus ada kebijakan-kebijakan di daerah yang melindungi kaum perempuan dan tidak membuat diskriminasi.

“Alih-alih melindungi anak, ternyata beberapa aturan justru mendiskriminasi perempuan. Perlu mendorong pemenuhan hak, tumbuh kembang dan potensi anak, khususnya anak perempuan agar terhindar dari perkawinan usia dini,” ujar Rani Hastari.