Rabu, 04 October 2023 08:58 UTC
no image available
JATIMNET.COM, Malang - Kawasan Dinoyo, Kota Malang, Jawa Timur, merupakan daerah yang dikenal dengan kawasan permukiman sejak zaman prasejarah di bawah Kerajaan Kanjuruhan pimpinan Raja Dewa Simha. Hal ini dibuktikan dengan penemuan prasasti, bangunan candi, arca, fondasi batu bata, bekas fondasi batu bata, bekas aliran drainase serta berbagai macam gerabah kuno.
Berawal dari gerabah yang sudah dibuat nenek moyang masyarakat Dinoyo pada zman kerajaan itulah, kawasan Dinoyo di Jalan MT Haryono, Kota Malang, kini dikenal sebagai sentra pengrajin gerabah. Dalam perkembangannya, kerajinan gerabah kini berubah menjadi kerajinan keramik yang terbuat dari tanah putih. Hasil produksi itu pun kini mampu menembus pasar ekspor.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Keramik Dinoyo, Samsul Arifin menceritakan sejarah panjang Dinoyo sentra pengrajin keramik, sampai akhirnya Dinoyo menjadi Kampung Wisata Keramik Dinoyo.
Samsul Arifin mengatakan pengrajin keramik Dinoyo ini sudah ada sejak zaman dulu. Selain dari warisan nenek moyang, kerajinan gerabah sampai keramik ini berkembang secara turun menurun.
"Keramik Dinoyo sebenarnya sudah ada secara turun temurun bermula dari sentra gerabah," kata Samsul, Rabu (4/10/2023).
Dia menjelaskan setelah zaman kerajaan, gerabah atau keramik Dinoyo ini mulai berkembang sekitar tahun 1930. Adalah petani tebu yang saat itu dipekerjakan oleh Belanda. Tebu saat itu dikirim ke Pabrik Gula Krebet maupun Pabrik Gula Kebonagung.
Para petani yang dibawa Belanda tersebut ternyata mempunyai keterampilan mengolah tanah liat menjadi sebuah kerajinan seperti peralatan memasak dan peralatan dapur. Mereka pun sering membuat barang gerabah sendiri untuk peralatan dapur.
"Di antara para petani itu mungkin dari daerah asalnya mempunyai keterampilan membuat barang-barang gerabah dari tanah liat, tanah sawah. Kebetulan daerah persawahan di sini tanahnya cukup bagus. Dan gerabah cukup berkembang karena orang tua kita dulu banyak peralatan memasak, peralatan dapur terbuat dari tanah," ungkapnya.
Menurut Samsul, kawasan Dinoyo juga sempat didatangi tim peneliti tanah dari Balai Penelitian dan Balai Penyelidik Keramik dari Bandung. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa di sejumlah daerah di Jawa Timur terdapat tanah putih yang bisa dibuat untuk membuat keramik porselen, hingga akhirnya dibuatlah pabrik percontohan membuat keramik di Dinoyo.
"Dalam perkembangannya di era kemerdekaan Balai Penelitian, Balai Penyelidik Keramik di Bandung melakukan penelitian ternyata di sekitar Jawa Timur ini ada di Malang Selatan, di Blitar, di Tulungagung, di Trenggalek, di Tuban, di Pacitan, terdapat bahan baku yang bisa dibuat menjadi keramik porselain berbasis tanah liat putih," jelas Samsul.
Kemudian tahun 1955, kata dia, para peneliti dari Bandung tersebut mengusulkan agar dibangun pabrik keramik di Dinoyo. "Pabrik keramik ini sebagai proyek percontohan," kata Samsul.
Dengan berdirinya pabrik sebagai proyek percontohan tersebut, akhirnya banyak merekrut tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Sedangkan masyarakat Dinoyo yang sebelumnya pengrajin gerabah, bergabung dan belajar produksi keramik porselain dari bahan dasar tanah liat putih.
Kemudian dalam perkembangannya, perusahaan tersebut membentuk unit produksi yang akan diberi pekerjaan memproduksi keramik setengah jadi.
"Unit- unit seperti unit Dinoyo 1, unit Dinoyo 2, unit Bethek itu diberi sub pekerjaan, mengerjakan setengah jadi, di stor disitu ( dikirim ke pabrik, red)," terang Samsul.
Berjalannya waktu, di perusahaan percontohan keramik tersebut muncul aturan baru, dan akhirnya menawarkan kepada masyarakat atau unit yang sebelumnya tersebut menjadi bagian dari proyek percontohan membuat keramik sendiri atau mengembangkan usaha sendiri. Sebagian besar akhirnya mengembangkan usaha sendiri.
"Jadi karena berawal dari gerabah sudah mempunyai keahlian dari tanah liat kemudian pernah sebagai unit, akhirnya membuat atau produksi sendiri. Sejak itulah akhirnya dikenal dengan keramik Dinoyo," paparnya.
Proses Pembuatan Keramik 
Samsul menerangkan, secara produksi, pembuatan keramik ini bergeser dari cara tradisional menjadi modern. Jika sebelumnya, pembakaran gerabah menggunakan bahan bakar ranting kayu dan jerami sampai membuat tungku dengan bahan bakar minyak tanah dan solar, tapi saat ini semua beralih ke tungku mesin dengan bahan bakar gas elpiji.
Secara umum, tambah Samsul, sebenarnya masih tradisional atau secara dekoratif masih dilakukan secara manual, karena orientasi pengrajin ini lebih ke hancdycraf atau handmade, tapi dalam proses produksi mengalami perkembangan diantaranya kalau gerabah dulu bahan bakarnya dari ranting-ranting kayu, dari jerami. Dia mengaku peralihan tradisional ke modern hanya pada perbedaan cara pembakaran.
"Karena waktu itu lahan cukup luas dan bahan tersedia. Kemudian dalam perkembangannya pernah mengembangkan tungku bakar menggunakan bahan bakar minyak tanah, solar. Waktu itu juga cukup tepat karena minyak tanah waktu itu murah, kemudian dibutuhkan suhu bakar yang tinggi karena minyak tanah sebagai bahan bakar karena punya kalori untuk suhu bakar tinggi," tukasnya.
Di era sekarang karena minyak tanah terbatas dan harganya mahal dan akhirnya menggunakan tungku dari besi dengan bahan bakar gas elpiji. "Bahan bakar elpiji cukup efektif sekarang, karena tersedia, kemudian tidak polusi dan hasilnya cukup bagus," ucap Samsul.
Samsul menjamin, secara produksi, tidak ada perbedaan kualitas hasil produk keramik yang dibuat atau dibakar secara tradisional maupun modern. Karena secara bahan dan suhu panasnya sama, tidak ada perbedaan sama sekali.
"Sebenarnya sama saja karena itu kan hanya, kita produksi keramik porselain ini komposisinya harus bahan ini, kemudian dibakar dengan suhu sekian, tetapi peralatan yang digunakan berkembang, tetapi prinsipnya kan tetap," ujarnya.
Sedangkan secara pasar, produksi keramik Dinoyo masih banyak peminatnya. Dia mengatakan sampai saat ini, peminat pasar keramik Dinoyo ada tiga kelompok, yakni kelompok pemesan, kelompok pengecer atau pedagang, dan kelompok wisatawan yang membeli langsung saat berkunjung ke Kampung Wisata Keramik Dinoyo.
"Kalau pasar kebanyakan konsumen keramik ini kalau boleh saya katakan ada tiga kelompok. Yang pertama pemesan, dia pesan dipakai sendiri untuk souvernir. Kemudian ada pengecer, pengecer ini pedagang, nah itu cukup besar, karena dia ambil jumlah banyak jual lagi di beberapa daerah. Yang ketiga pembeli langsung atau wisatawan yang jalan - jalan," beber Samsul.
Harapannya, kata Samsul, dari tiga konsumen ini bisa berkembang dengan baik. "Artinya pesanan baik, pengecer di daerah-daerah wisata peminatnya banyak, sehingga dia bisa mengambil lagi, kemudian wisatawan yang datang ke sini makin banyak, yang beli langsung banyak peminatnya, harapannya seperti itu," tandasnya.
Samsul menambahkan dengan banyaknya wisatawan yang datang ke Kampung Wisata Keramik Dinoyo, dan tertarik setelah melihat proses pembuatan keramik yang dilakukan pengrajin secara manual, pengrajin pun sepakat sentra keramik Dinoyo ini dijadikan kampung wisata destinasi kunjungan edukasi keramik.
"Dulu di awal – awal itu memang banyak orientasinya itu ke produksi. Saya membuat keramik nanti pasarnya ada yang mengambil sendiri, sehingga kosentrasi di produksi, tapi dalam perkembangan sekarang, ternyata orang membuat keramik itu mempunyai daya tarik wisata. Bagaimana orang mengolah bahan, membentuk, mewarna, mengembangkan itu menjadi daya tarik. Akhirnya teman-teman pengrajin sepakat sentra ini dijadikan kampung wisata destinasi kunjungan edukasi keramik," ungkapnya.
Dari situ, kata Samsul, satu sisi produk keramik itu harus dikembangkan, di sisi yang lain pengrajin harus memikirkan regenerasi, diantaranya dengan memberi ruang kepada masyarakat luas, baik wisatawan, pelajar maupun mahasiswa. "Siapa saja yang mau belajar melalui paket edukasi dipersilahkan, khususnya anak-anak sekolah, mahasiswa, biar tertarik belajar," ujarnya.
Sejauh ini, wisatawan yang datang dan belajar membuat keramik atau studi banding yakni tamu-tamu hotel dari berbagai negara dan lembaga- lembaga pemerintahan maupun swasta, komunitas, sekolah maupun perguruan tinggi.
"Kalau sekolah-sekolah cukup antusias, karena di sekolah ada pelajaran seni budaya terutama sekolah yang ada di Malang raya ini yang berbasis kompetensi lokal," ucap dia.
Samsul mengatakan agar produksi keramik Dinoyo bertahan dan tidak kehabisan bahan tanah liat putih, pemerintah melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan mendirikan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melayani dan menyiapkan pengadaan bahan baku bekerjasama dengan kelompok pengrajin yang mengolah kebutuhan bahan (KUB). Bahan baku yang harus tersedia yakni material tanah liat putih, pasir, bebatuan ada juga Kaolin, felspar, kwarsa, dan ball clay. "Jadi teman-teman di Jawa Timur pengrajin keramik ini membentuk KUB, mengelola kebutuhan bahan yang siap pakai, dan pengrajin mengambil di KUB atau UPT," jelasnya.
Saat ini, kata Samsul, jumlah pengrajin keramik Dinoyo tercatat ada 24 warga. Karena semakin padatnya kawasan Dinoyo, banyak pengrajin memilih mengembangkan usahanya ke Kabupaten Malang, tapi pasarnya tetap ikut di Dinoyo.
"Kalau yang disini sekarang ada 24 pengrajin, tapi dari 24 ini ada yang membuat keramik ada yang membuat kerajinan gibs, ada yang punya gallery saja, paling tidak berkumpul di satu sentra kampung wisata ini. Tapi rata- rata pengrajin keramik dinoyo banyak yang membuat keramik untuk vas bunga dan souvernir daripada peralatan masak atau dapur, harganya variatif mulai Rp 10 ribu sampai Rp 1 juta tergantung ukuran atau besar kecilnya keramik," ungkapnya.
Kembangkan Wisata Kampung Dinoyo
Dengan berkembangnya industri keramik, Kelompok Pokdarwis Keramik Dinoyo berencana ingin mengembangkan wisata Kampung Dinoyo dengan menata kawasan serta membuat museum keramik. Rencana ke depan, yang pertama mengembangkan hasil produk, kalau bisa ke depan banyak variasinya, terlebih dari keramik yang berorientasi produk kreatif. Kedua sarana prasarana penunjang kampung wisata terutama di penataan kawasan.
"Ke depan kalau bisa disini ada museum keramik, ada workshop, ada gallery, kemudian ada sarana tempat parkir, dan lain-lainnya, sehingga lebih menarik dan wisatawan banyak yang datang seperti di daerah-daerah lain. Jadi jika sentra-sentra itu banyak dikunjungi wisatawan terjadi banyak permintaan, artinya pengrajin mengikuti dan akan terjadi perkembangan produk, serta meningkatkan minat wisatawan terhadap produk keramik," demikian kata Samsul.
Untuk pengembangan Kampung keramik Dinoyo ini, Samsul bersama pengrajin lainnya, sudah melakukan pendekatan dan bekerjasama dengan Pemkot Malang, Pemprov Jatim, dan Kementerian. Utamanya di disperindag, bidang koperasi, bidang pariwisata, dan bidang- bidang perekonomian. Kami juga kerjasama dengan perguruan tinggi, termasuk dengan BUMN dalam hal ini dengan BRI, kita sebagai mitra binaan BRI.
"Kami sudah melakukan pendekatan kerjasama dengan instansi tarkait dalam hal ini pemerintah daerah baik kota, provinsi maupun dari kementerian. Kami juga kerjasama dengan perguruan tinggi, termasuk dengan BUMN dalam hal ini dengan BRI, kita sebagai mitra binaan BRI," pungkas Samsul.
Sementara itu, salah seorang penjual keramik Subur Laminah mengatakan penjualan keramik sampai saat ini tidak ada kendala. Bahkan, kunjungan wisatawan yang datang ke sentra keramik Dinoyo pun masih banyak yang datang.
Bahkan, dari hasil jualannnya setiap hari dia masih mendapatkan omzet Rp1 juta sampai Rp2 juta per hari. Namun, pada saat liburan omzet yang dia dapat mencapai puluhan juta rupiah per hari.
"Alhamdulillah lancar-lancar saja. Hari biasa omzetnya Rp1 juta sampai Rp2 juta. Kalau liburan bisa Rp10 juta sampai Rp15 juta per hari," katanya.
 
