Rabu, 22 October 2025 02:44 UTC
Ilustrasi perkosaan. Pixabay
JATIMNET.COM, Jember - Kinerja polisi dalam menangani kasus perkosaan di salah satu desa di Jember, menuai kritik karena dinilai lambat. Lebih ironis lagi, korban perkosaan tersebut saat mengadu ke kepala desa, justru disuruh untuk berdamai dan menikah dengan terduga pelaku perkosaan yang masih tetangganya sendiri.
Nasib malang itu dialami SF (21), seorang mahasiswi yang tinggal bersama keluarganya di salah satu desa di Kecamatan Balung.
Kasus ini kini didampingi oleh LBH IKA PMII Jember, Kopri PMII Jember, dan PC Fatayat NU Jember, yang berkomitmen untuk mengawal proses hukum agar pelaku segera ditangkap dan korban mendapatkan perlindungan.
“Penanganan awal yang lamban membuat pelaku bebas kabur dan menimbulkan ketakutan baru bagi korban,” ujar Ketua PC Fatayat NU Jember, Nurul Hidayah yang merupakan salah satu pendamping korban, Rabu, 20 Oktober 2025.
BACA: Wakil Ketua DPRD Jember Ditahan Kejaksaan bersama Mantan Istri
Kasus ini bermula pada Selasa, 14 Oktober 2025, saat korban tinggal sendirian di rumahnya. Kebetulan kedua orangtuanya sedang bepergian. Pada dini hari sekitar pukul 02:00 WIB, tanpa diduga terduga pelaku SA (27) menyelinap masuk ke kamar korban melalui jendela.
Saat korban berusaha melawan dan berteriak, pelaku mencekik dan memukulinya hingga menyebabkan luka di wajah dan lengan. Pelaku bahkan mengancam akan membunuh korban jika terus berteriak, lalu memperkosanya.
Usai kejadian, korban melapor ke kepala desa setempat yang berinisial NK. Namun, bukannya mendapat perlindungan, korban justru disarankan untuk “menyelesaikan secara kekeluargaan” dengan tawaran menikah dengan pelaku yang ternyata masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa. SF menolak tegas saran tersebut dan akhirnya melapor ke Polsek Balung bersama keluarganya.
Namun, saat polisi mendatangi rumah pelaku, SA sudah melarikan diri. Hingga kini, keberadaannya belum diketahui.
BACA: Rudapaksa Gadis SMP, Empat Remaja di Gresik Divonis 10 Tahun Penjara
PC Fatayat NU menilai kasus ini mencerminkan lemahnya penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di lapangan. Menurutnya, aparat seharusnya bisa segera mengamankan pelaku dalam hitungan jam, bukan berhari-hari.
“Korban bahkan harus menanggung sendiri biaya visum. Ini menunjukkan absennya negara dalam memberikan perlindungan sejak hari pertama,” tegasnya.
Saat ini, tim pendamping sedang berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melakukan asesmen perlindungan dan pengajuan restitusi. Dalam waktu dekat, LPSK dijadwalkan mengunjungi korban.
Nurul menegaskan, kasus Balung harus menjadi pelajaran penting bagi aparat dan pemerintah daerah untuk benar-benar menjalankan mandat UU TPKS. “Kalau negara hadir sesuai aturan, korban seperti SF tidak akan dibiarkan hidup dalam ketakutan,” katanya.
BACA: Guru Ngaji Ini Panjat Pagar dan Rudapaksa Anak Tetangga
Sementara itu, Plh Kapolsek Balung Ipda Sentot menyatakan, pihaknya telah memeriksa korban dan sejumlah saksi. “Kami terus menyelidiki keberadaan pelaku dan meminta masyarakat membantu memberikan informasi bila mengetahui keberadaannya,” ujarnya.
Saat ini, penyelidikan kasus tersebut telah diambil alih oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember. Proses hukum akan terus dikawal oleh tim pendamping hingga pelaku berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman.