Senin, 19 August 2019 16:12 UTC
KEPUNG ASRAMA. Aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya pada Sabtu, 17 Agustus 2019. Polisi didesak mengusut tuntas dan menindak tegas pelaku pengepungan. Foto: Khaesar Gle.
JATIMNET.COM, Surabaya – Jaringan masyarakat sipil Indonesia menuntut polisi menindak pelaku pengepungan dan penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya, 16-17 Agustus 2019.
“Harus tegas menindak pelaku, termasuk ormas, yang terindikasi melakukan kekerasan dan main hakim sendiri,” kata Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati dalam pernyataan tertulis yang diterima Jatimnet.com, Senin 19 Agustus 2019.
Jaringan masyarakat sipil beranggotakan sejumlah organisasi non pemerintah. Selain YLBHI, tercatat ada Elsam, Huma, Human Right Working Group (HRWG), ICJR, Imparsial, Indonesian Court Monitoring (ICM), Infid, LBH Masyarakat, LBH Pers, PBHI, Pusaka, SKPKC Fransiscan Papua, Yayasan Perlindungan Insani, dan Paritas Institute
BACA JUGA: Kerusuhan di Papua, Kapolri Nilai Kejadian di Surabaya dan Malang Peristiwa Kecil
Menurut mereka, polisi telah gagal memberikan pengamanan dan membiarkan ujaran kebencian serta tindakan tak manusiawi pada mahasiswa Papua. Selain itu, penangkapan mahasiswa pun dianggap sebagai tindakan berlebihan. Utamanya, ketika memaksa masuk asrama karena berpotensi mengarah pada praktik penyiksaan yang bertentangan konvensi antipenyiksaan.
Tindakan aparat itu, lanjut dia, tidak mengindahkan prosedur penegakan hukum yang sesuai dengan KUHAP. “Polisi harus mengusut pelaku vandalisme dan ujaran kebenciaan agar tindakan serupa tak terjadi lagi,” lanjut dia.
BACA JUGA: Mahasiswa Papua di Surabaya Dikenal Ramah oleh Warga Sekitar Asrama
Dalam keterangan tertulis itu, jaringan masyarakat sipil juga mempertanyakan keterlibatan TNI dalam aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Keterlibatan tentara dalam peristiwa itu mengindikasikan adanya pelanggaran kewenangan TNI seperti diatur dalam Undang-Undang nomor 34 tahun 2004. “Mabes TNI harus melakukan evaluasi internal atas kemungkinan keterlibatan prajuritnya,” katanya.
Terakhir, mereka mendesak Komnas HAM melakukan investigasi. Dalam peristiwa pengepungan asrama Papua di Surabaya itu, diduga aparat telah melakukan pelanggaran Undang-Undang nomor 40 tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, serta surat edaran Kapolri nomor SE/6/X/2015 tentang penanganan ujaran kebenciaan.
“Rangkaian peristiwa ini terindikasi sebagai bagian dari perbuatan rasisme yang dilarang secara hukum, termasuk ujaran kebencian berdasarkan ras dan etnis,” katanya.
