Selasa, 22 January 2019 13:58 UTC
no image available
JATIMNET.COM, Surabaya - Beragam protes muncul dari Australia mengikuti polemik pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Sebagian besar merasa keberatan dengan sikap pemerintah Indonesia. Meskipun ada pula yang memahami sikap politik Presiden Jokowi dari sisi berbeda.
Dikutip dari abc.net.au keberatan dilontarkan oleh Perdana Menteri Australia Scott Morrison. "Posisi Australia dalam persoalan ini tidak berubah. Kami selalu menyampaikan keberatan paling mendalam," kata PM Morrison kepada wartawan di Melbourne, Senin 21 Januari 2019.
Suara Morrison juga tercermin dari kritikan yang disampaikan oleh sejumlah media Australia dan korban bom Bali di negeri kanguru itu. Kerabat korban bom bali tahun 2002 silam mengaku tak menyangka jika Ba’asyir akan dibebaskan lebih awal. "Seperti tamparan bagi banyak waga Australia yang masih terluka dan masih memulihkan diri," kata Jan Laczynski. Ia kehilangan lima temannya dalam serangan bom di Sari Club Bali.
BACA JUGA: Alasan Kemanusiaan, Jokowi Bebaskan Abu Bakar Baasyir
Kritik media dan warga Australia
Sedangkan kritik dari media muncul di antaranya dalam headline situs 10 Daily dengan tajuk "Jika mencari keadilan, jangan mencarinya di Indonesia".
Berikutnya harian “The Australian” menulis keputusan itu sebagai langkah buruk bagi Indonesia dan dunia dalam memerangi terorisme. "Membuat senang golongan Islam ekstrimis jelang pemilihan presiden 17 April akan merusak catatan Jokowi sebagai pemimpin moderat," tulis harian itu dalam artikel berjudul "Ba'asyir seharusnya tetap berada di balik jeruji".
Namun sejumlah pendapat berbeda juga dilontarkan warga setempat. Pakar politik Islam dari Deakin University di Melbourne melihat keputusan itu sebagai bentuk dari runtuhnya simbol ancaman dalam sosok Ba’asyir. "Cara terbaik untuk menggambarkan Ba'asyir adalah sosok yang sudah tidak dianggap lagi dan menyedihkan," ujar Professor Greg Burton kepada ABC News.
BACA JUGA: PBNU Maklumi Pembebasan Abu Bakar Baasyir
Dampak pada hubungan bilateral
Sedangkan Ross Taylor, presiden Indonesia Institute di Perth melihat pembebasan Ba’asyir dari sudut politik dan hukum. Sikap Presiden Joko Widodo itu dinilai berkaitan dengan kepentingan mendapatkan suara dari kelompok konservatif di Indonesia. “Hal sama juga terjadi di Australia,” katanya.
Sementara penilaian dari segi hukum muncul dari terpenuhinya persyaratan untuk menerima pembebasan lebih awal. “Seperti pada kasus Schapelle Corby,” lanjutnya pada ABC Indonesia. Ia menyingung pembebasan awal yang diterima narapidana berjuluk Ratu Ganja asal Australia itu. Corby menerima vonis 20 tahun penjara dan telah dideportasi ke Australia tahun lalu. Ia telah menjalani hukuman penjara selama sembilan tahun dan hukuman bebas bersyarat sejak 2014.
Selanjutnya ia juga mengatakan sikap Presiden Joko Widodo tidak akan berdampak pada kesepakatan perdagangan Indonesia dan Australia yang belum tercapai. Dua negara sedang menunggu pemilihan presiden baru di tahun ini. Kesepakatan diduga baru akan dijajaki kembali di bawah pemerintahan presiden baru. "Jadi hubungan keduanya baru akan dijajaki kembali di bawah dua pemerintahan yang baru," katanya.
BACA JUGA: Wiranto: Pemerintah Masih Kaji Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir
Keputusan pembebasan Ba’asyir sendiri kini sedang dikaji ulang. Sebelumnya kabar tentang pembebasan Abu Bakar Ba’syir disampaikan oleh pengacara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra. Ia menyebut pembebasan telah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo, Menteri Hukum dan HAM, dan Kapolri.
Sejumlah pertimbangan dalam pembebasan Ba’asyir di antaranya usia yang menginjak 81 tahun dan kondisi sakit serta memerlukan perawatan. Ba’asyir telah menjalani hukuman selama 9 tahun sejak ditahan kali ke dua pada 2011 silam.