Logo

Pengamat : Pemerintah Tak Perlu Respon Perang Dagang AS dan Cina

Reporter:

Rabu, 11 July 2018 10:15 UTC

Pengamat : Pemerintah Tak Perlu Respon Perang Dagang AS dan Cina

Pengamat Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Prof Muhammad Nafik Hadi Ryandono.

JATIMNET.COM – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina semakin memanas. Perang dagang ini akan berdampak terhadap kondisi ekonomis dunia, meski demikian Indonesia dihimbau untuk tidak terlibat didalamnya.

Pengamat Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Muhammad Nafik Hadi Ryandono meminta pemerintah Indonesia tidak perlu menanggapi adanya fenomena perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina. Perang yang dilakukan kedua Negara adidaya ini dinilai sebagai politik perdagangan ambigu dan terkesan mau menang sendiri.

“Ini terlihat ketika ada banyak barang yang masuk ke negaranya, AS akan menerapkan pembatasan. Namun ketika barangnya masuk ke negara lain akan terus ditekan,” kata Nafik, dikampusnya, Rabu, 11 Juli 2018.

Padahal di dalam kesepakatan perdagangan negara-negara anggota World Trade Organization (WTO), praktik seperti itu tidak diperbolehkan. Ketika praktik itu hendak diterapkan kepada produk Cina ternyata tidak bisa. Karena produk China terlanjur membanjiri negara adidaya itu. Untuk itu AS melakukan langkah kasar dengan menerapkan perang dagang ini.

Saat ini Presiden AS Donald Trump telah resmi menetapkan tarif sebesar USD 34 miliar ke 818 kategori produk Cina pada Jumat pekan lalu. China merespons dengan mengenakan tarif ke produk-produk AS.

Begitu pula dengan Indonesia, barang ekspor nasional memenuhi pasar kebutuhan Amerika. Menyadari hal itu, AS mulai melakukan praktik serupa dengan mengancam dan mempertimbangkan ulang pemberian fasilitas keringanan bea cukai untuk produk-produk ekspor dari Indonesia.

“Sejatinya, Amerika-lah yang tergatung kepada kita. Terbukti lebih banyak produk dalam negeri kita yang membanjiri pasar mereka, dibanding barang mereka yang masuk,” ungkapnya.

Untuk itu, pemerintah harus percaya diri dan cukup menunggu. Jika pemerintah terlalu reaktif, justru akan merugikan perekonomian dalam negeri. AS akan memberikan peraturan yang merugikan dan menyerang titik lemah perekenomian dalam negeri.

Ia setuju dengan langkah substitusi impor, yakni dengan mengurangi konten impor, dan menggenjot ekspor dalam negeri. Pemerintah bisa mencoba menyasar pasar-pasar internasional lainnya.

“Saat ini, perekonomian AS sedang stagnan, pemerintah bisa menjajal pasar Timur Tengah dan Afrika, yang saat ini sedang tinggi perekonomian dan kebutuhan konsumsinya,” terang Kepala Lembaga Pengembangan Bisnis dan Inkubasi (LPBI) Unair itu.

Selain itu, pemerintah bisa menstimuli industri dalam negeri, yakni dengan memberikan insentif di beberapa sektor yang tengah lesu. Misalnya industri bahan baku nasional, karena terbitnya KITE (Kemudahan Impor Tujuan Ekspor), perindustrian bahan baku lokal perlahan akan merosot dan akhirnya mati.

Editor : Arif Ardliyanto.