Senin, 03 September 2018 16:00 UTC
Pengusaha batik tulis Jarak Arum, Fitria Anggraeni turut melakukan aksi saat menunggu putusan class action di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin, 3 September 2018. FOTO: Fahmi Aziz.
JATIMNET.COM, Surabaya – Pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di kawasan eks lokalisasi Dolly Jarak-Putat Jaya Surabaya angkat bicara setelah ada pihak yang menyebut usahanya hanya ‘bohong-bohongan’.
Hal ini bermula saat sekelompok warga Dolly yang tergabung dalam Front Pekerja Lokalisasi (FPL) dan Komunitas Pemuda Independent (KOPI) mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Dengan menuntut Pemkot Surabaya yang tak memberikan ganti rugi dan pengalihan sumber penghidupan untuk warga terdampak pasca penutupan. Para penggugat itu juga tak segan-segan menyebut UMKM binaan Pemkot Surabaya di Dolly itu imitasi atau abal-abal.
“Pabrik sepatu itu abal-abal. Kalau ada kunjungan saja buka, tapi setelah itu tidak produksi,” kata Sentral Informasi KOPI dan FPL, Saputro atau akrab disapa Pokemon, usai ditolaknya gugatan class action di PN Surabaya, Senin, 3 September 2018.
Pokemon juga mengajak para awak media menginvestigasi sekurang-kurangnya empat hari atau seminggu untuk melihat jalannya produksi di UMKM binaan pemkot itu.
“Tidak ada produksi batik dan sepatu, abal-abalan tidak beroperasi. Berapa jumlah karyawan? Paling hanya 12 orang, tidak sampai seratus atau seribu,” tambahnya.
Hal ini menyulut reaksi negatif dari para pelaku UMKM di Putat Jaya. Di antaranya ialah Roro Dwi, pemilik usaha keripik singkok ‘Samiler Jarak-Dolly’ (Samijali). Dwi membantah usahanya ‘kadang buka, kadang tutup’.
Dwi mengaku harus bersusah payah membuka usahanya sejak tahun 2015. Merangkak perlahan demi perlahan, hingga usahanya beromzet Rp 5-6 juta per bulan dan memiliki enam pegawai.
Memang pendapatannya tak sebanding dengan dulu masih dibukanya lokalisasi Dolly. Tapi menurut dia, keadaan saat ini jauh lebih baik dan lebih tentram dibanding dulu.
Ia juga melihat, Pemkot Surabaya sudah berkali-kali memberikan pelatihan, bahkan sejak menjelang penutupan lokalisasi. Dia tidak menampik memang ada beberapa warga yang menolak dan memilih tak mengikuti pelatihan.
“Mereka (penggugat) itu maunya instan, mau cepat dapat duit,” kata single parent beranak tiga ini, saat aksi mengawal putusan di PN Surabaya, Senin, 3 September 2018.
Hal senada juga disampaikan Fitria Anggraeni, pelaku usaha Batik tulis Jarak Arum. Fitria mengatakan pasca penutupan lokalisasi, Pemkot Surabaya kerapkali mengadakan berbagai pelatihan mulai dari pembuatan makanan, kerajinan tangan hingga membatik.
“Saya juga mendengar ada pihak yang mengatakan kalau batik Dolly itu tak ada. Mereka menyebut, usaha kami hanya dalih pemerintah saja, dan kalau ada tamu yang berkunjung saja baru buka. Jelas saya keberatan dengan pernyataan itu. Wong, kami sudah berdiri sejak 2014,” jelas Fitria, di depan PN Surabaya,
Fitria mengaku sebelum menjadi pembatik berprofesi sebagai penjual pakaian minim untuk para pekerja seks komersial (PSK).
Di awal pembelajaran itu, batiknya dijual Rp 125.000 per kain, terus meningkat hingga mencapai Rp 2,5 juta per kainnya.
Pengusaha sepatu dan sandal slipper hotel asal Putat Jaya, Atik Triningsih mengaku telah meneken kerjasama dengan 30 hotel, baik di Surabaya maupun luar Jawa. “Dimulai dari awal 2017, sampai saat ini saya sudah diminta untuk memproduksi ke mereka,” katanya.
Secara pribadi, Atik merasa tersinggung dengan pemberitaan salah satu stasiun televisi lokal swasta. Di dalamnya, ada seorang narasumber perempuan yang mengatakan produksi sepatu dan slippernya itu ‘abal abal’.