Reporter
Dyah Ayu PitalokaSelasa, 27 November 2018 - 08:53
SIAPA bilang media cetak segera bubar segera setelah media daring mewabah. Surut iya, bubar belum. Panjebar Semangat salah satunya. Selama dua dekade terakhir, majalah berbahasa Jawa yang berpusat di Surabaya itu bertahan dengan oplah 15 ribu eksemplar per minggu.
Kamis 22 November 2018 pekan lalu di kantornya, samping Museum dr. Soetomo Jalan Bubutan, seorang pekerja menyibukkan diri di kamar gelap mencuci delapan lempeng alumunium. Berikutnya, di permukaan lempengan itu timbul tulisan dan gambar.
Begitulah teknologi cetak ini bertahan bertahun-tahun di sana. Hingga kini, bahkan ketika teknologi cetak berkembang jauh.
“Pembaca kami sebagian besar pensiunan, usianya (rata-rata) di atas 60 tahun,” kata S.Wibowo (42), seorang staf redaksi Panjebar Semangat.
Pada era 1980 oplah Panjebar Semangat mencapai 60 ribu eksemplar. Menjelang krisis moneter 1998, jumlahnya turun hingga 30 ribuan eksemplar. Dan pada akhir 1990an kembali turun jadi 15 ribu eksemplar, hingga kini.
Staf percetakan memeriksa Panjebar Semangat. Foto: Dyah Ayu Pitaloka.
Menurut Wibowo, Panjebar Semangat memiliki pembaca setia. Tapi laiknya oplah yang terus anjlok, jumlah pembaca juga turun. Usia pembaca adalah faktor utama. Yang kedua, ekonomi.
Para pelanggan, ia melanjutkan, biasa menulis surat ke redaksi saat berhenti langganan majalah. “Alasannya ada yang karena mata sudah rabun,” katanya.
Majalah ini terbit sejak 2 September 1933, 78 tahun setelah Bromartani, majalah berbahasa Jawa pertama terbit di Solo pada 1855. Salah satu pendirinya dr.Soetomo, tokoh pergerakan pra kemerdekaan Indonesia dan pendiri Boedi Oetomo.
Saat ini, ada enam staf redaksi Panjebar Semangat. Empat orang di antaranya sudah sudah berusia paruh baya. Ada pun dua yang lain, terbilang masih muda. Wibowo salah satunya. Tiap pekan redaksi memproduksi 25 berita. Sastra yang utama karena itu favorit pembaca.
“Pembaca kami paling suka cerita misteri disusul cerita wayang,” katanya.
85 tahun berkarya, Panjebar Semangat kini harus bertarung keras agar tetap berproduksi. Terlebih bagi media cetak yang sangat bergantung pada kertas.
Menurut Wibowo, harga kertas tak henti merangkak naik. Tahun ini saja, ia melanjutkan, harganya naik lebih dari 100 persen dibanding tahun lalu. Toh, harga majalah bertahan di angka Rp 15 ribu per eksemplar. “(Karena) pelanggan sensitif dengan kenaikan harga,” katanya.
Sementara ongkos produksi naik dan harga jual majalah tetap, pendapatan iklan melorot. Saat ini, nyaris tak ada iklan komersial yang menempel kecuali iklan layanan masyarakat dari instansi pemerintah.
Padahal dulu, Wibowo mengenang, di tahun 1980an, Panjebar Semangat selalu rancak berhias aneka iklan. Dari iklan pasta gigi sampai otomotif.
Staf percetakan sedang memeriksa artikel dalam Panjebar Semangat.Foto: Dyah Ayu Pitaloka.
Bikin Versi Daring Biar Tak Kering
Siang itu ruang redaksi Panjebar Semangat nyaris sepi. Layar monitor tabung –yang menggantikan mesin ketik sejak sepuluh tahun lalu- menghiasi meja yang kosong.
Sejak tiga tahun lalu, majalah ini mulai menjajal versi daring, Panjebarsemangat.co.id. Seperti media daring kebanyakan, artikel disediakan gratis untuk pembaca. Hanya saja, untuk mengakses rubrik sastra secara utuh, pembaca harus membayar.
“Karena sastra itu yang paling diminati pembaca, jadi kami pasang 20 persen saja di website. Kalau mau lengkap ya beli majalahnya atau berlangganan e-paper,” kata dia.
Versi daring juga ditujukan bagi pembaca yang akrab dengan gawai, terutama dari usia yang lebih muda. Selain itu, versi ini sekaligus mempersempit jarak pembaca di luar negeri, seperti di Australia dan Suriname.
Menurut Wibowo, ongkos kirim majalah cetak ke dua negara itu bisa-bisa lebih mahal ketimbang ongkos produksi. Pasca krisis moneter, banyak pembaca di sana berhenti langganan karena ongkos kirimnya yang mahal. “Tapi sekarang mereka bisa kembali membaca di website atau langganan e-paper,” katanya.
Selain Sastra, rubrik berbayar dalam versi daring adalah Narayana. Ini rubrik khusus dua bulanan sejak enam tahun lalu. Didominasi warna merah muda dan gambar ala komik Jepang, Narayana hanya diakses melalui e-paper atau berlangganan.
Narayana menampilkan bermacam-macam kuis. Dari tebak kata, mewarnai, hingga teka-teki yang dilengkapi kupon. “Kuponnya bisa ditukar dan berhadiah kaos atau topi,” katanya.
Animo pengirim kupon, kata dia, cukup tinggi. “Kami buat sebagai upaya regenerasi pembaca,” katanya.
Ibu-ibu sedang menjilid Panjebar Semangat. Foto: Dyah Ayu Pitaloka.
Panjebar Semangat bukanlah satu-satunya majalah berbahasa Jawa yang tersisa. Ada majalah lain serupa; Jaya Baya di Kediri dan Djoko Lodang di Yogyakarta.
Meski sama-sama berbahasa Jawa, sejatinya masing-masing majalah itu punya gaya bahasa yang berbeda. Itu jadi ciri khas dan dipertahankan bertahun-tahun.
Panjebar Semangat, kata Wibowo, berkiblat pada bahasa Jawa ngoko di Keraton Yogyakarta dan Solo. Hingga kini, redaksi sengaja tak memasukkan corak daerah, semisal Suroboyoan atau Malangan, dan tetap mempertahankan ciri khas sejak era pemimpin redaksi generasi pertama, Imam Supardi.
“Sekarang sudah generasi ketiga tapi gaya bahasanya tetap terjaga,” ujarnya.