Selasa, 12 November 2019 08:06 UTC
RAPI. Perwakilan Asosiasi Pengusaha Muda Banyuwangi mengenakan batik bingkisan kunjungan kepada Mislan, salah satu veteran Banyuwangi. Foto : Ahmad Suudi.
BERPECI hitam, kemeja tak terkancing sempurna, dan bersarung. Dialah Mislan (90), veteran yang masih sanggup beribadah ke musala secara rutin. Meski tak cepat, dia menunjukkan langkah tegap berjalan di halaman rumahnya, Dusun Krajan, Desa/Kecamatan Licin, Banyuwangi.
Pandangannya merunduk ke bawah saat berbicara dengan orang asing. Namun wajahnya akan terangkat dan matanya memburu lawan bicara saat membahas keberangkatannya ke Surabaya saat masih bujang. Saat itu dia mengaku pergi ke Surabaya naik kereta api membawa sepotong bambu runcing, untuk berperang melawan Belanda dan sekutunya.
“Tidak dikasih tembak (senjata), yang melatih tentara. Tidak pakai seragam, baju seadanya, sembarang pakaian,” Mislan menuturkan dalam bahasa Using Banyuwangi, Minggu 10 November 2019.
Dia mengatakan dahulu masuk dalam Pasukan Sawunggaling yang memperkuat Surabaya untuk mengusir Inggris. Tugasnya berjaga, menyatakan pernah bertemu langsung dengan pasukan penjajah, namun tak begitu rinci karena keterbatasan komunikasi.
BACA JUGA: Tiga Buku tentang Bung Tomo Ini Bisa Temani Liburan di Hari Pahlawan
Dikisahkannya kata 'benang' menjadi salah satu sandi yang menandakan seseorang yang ditemui itu lawan atau kawan. Bila ditanya 'apa Min?' kemudian dijawab 'benang' berarti keduanya sesama pejuang kemerdekaan RI.
Kejadian yang paling diingat Mislan adalah pembakaran markas Belanda di Gedangan, Sidoarjo. Pada tahun 1945 kawasan itu menjadi salah satu wilayah yang diduduki Belanda.
Saat ditanya motivasinya berangkat ke Perang Surabaya Oktober-November 1945, pria yang sempat duduk di kelas dua Sekolah Rakyat (SR) itu mengatakan hanya dari dorongan hati.
Keterlibatannya dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan itu, Mislan dinyatakan sebagai veteran pejuang kemerdekaan RI dalam surat keputusan Departemen Pertahanan Keamanan, tertanggal tahun 1981. “Tidak bisa dicegah, dari hati harus ikut,” kata buyut dari lima cicit ini.

Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Untag Banyuwangi, I Kadek Yudiana. Foto: Ahmad Suudi.
Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, I Kadek Yudiana, mengatakan kehadiran pejuang Banyuwangi di Perang Surabaya terkonfirmasi melalui pidato Sutomo atau Bung Tomo, tokoh muda yang saat itu membakar semangat para pejuang tanah air.
Dia mengatakan dalam pidatonya, pahlawan nasional itu juga menyebutkan pemuda-pemuda dari luar Surabaya yang turut berperang, seperti Makassar, Medan, Bali, dan Banyuwangi.
Sementara keberangkatan pejuang-pejuang dari Banyuwangi dimobilisasi Tentara Kemanan Rakyat (TKR) yang didukung tokoh agama. Mereka yang bergabung dalam barisan yang dikomando TKR datang dengan kesadaran diri. Dengan demikian mereka siap diberangkatkan berperang kemanapun.
BACA JUGA: Hari Pahlawan, Pemkot Undang Veteran dalam Parade Juang 2019
“Saat menerima perintah perang, mereka siap. Jadi mereka ke sana itu bukan jalan-jalan, tapi sudah siap mengorbankan nyawa,” kata Kadek di kantornya, Senin 11 November 2019.
Sarjono M dalam bukunya Kisah Bung Tomo, menerangkan bahwa setelah proklamasi kemerdekaan RI dibacakan di depan umum, Inggris didatangkan Sekutu untuk melucuti senjata pasukan Jepang di tanah air.
Namun pejuang Indonesia mengetahui di belakang Inggris ada Belanda yang berupaya masuk kembali menguasai Indonesia. Dari sana perjuangan Arek-arek Suroboyo dan pendukungnya dimulai yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945 dan kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Mislan saat dijumpai di kediamannya. Foto: Ahmad Suudi.
Sekretaris Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Banyuwangi Suwadi mengatakan ada sekitar 45 veteran 1945, yakni pejuang yang memerdekakan dan menjaga kemerdekaan RI, yang masih hidup di Banyuwangi.
Dikatakannya pelayanan kesehatan yang mereka dapatkan sudah cukup bagus. Misalnya kartu Askes lama yang masih bisa digunakan di tempat-tempat pelayanan kesehatan.
Begitu juga hak atas uang pensiun yang sudah terpenuhi. Dalam hal perekonomian sehari-hari pada umumnya tercukupi, karena dirawat oleh anak dan cucu mereka.
“Pak Mislan termasuk yang sehat, soalnya dulu ke sawah juga. Olahraganya di sawah itu kan lebih sehat. Di Kecamatan Licin tinggal satu itu, sebenarnya banyak Licin itu (dulu)," kata Suwadi.