Senin, 19 November 2018 04:55 UTC
Ilustrasi
JATIMNET.COM, Surabaya - Netizen mulai menggalang penandatanganan petisi melalui laman www.chane.org sebagai dukungan untuk menyelamatkan Baiq Nuril dari hukuman penjara dalam perkara tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Baiq Nuril divonis enam bulan penjara serta kewajiban membayar denda sebesar Rp 500 juta.
Berdasarkan pantauan Jatimnet.com, sebanyak 89 ribu netizen yang telah menandatangani dukungan buat Baiq Nurul. Petisi dukungan tersebut meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk turun tangan menyelamatkan Baiq Nuril dari tindakan kriminalisasi ini.
Langkah pemberian Amnesti pun dapat diambil. Karena sesuai dengan UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyampaikan bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana.
Ini sekaligus menagih komitmen Presiden Joko Widodo yang sebelumnya menjamin akan memberikan perlindungan hukum dan mengawasi penegakan hukum khususnya terkait perempuan.
"Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah!" kata Erasmus Napitulu dalam laman www.change.org, yang memulai petisi ini kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Seperti diberitakan, Baiq Nuril Maqnun, seorang pegawai honorer di SMAN 7 Mataram oleh Mahkamah Agung (MA) dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan divonis enam bulan penjara serta kewajiban membayar denda sebesar Rp 500 juta. Secara sederhana Nuril dianggap terbukti oleh MA telah melakukan penyebaran percakapan asusila kepala sekolah SMU 7 Mataram.
Padahal, sebelumnya PN Mataram menyatakan ia tidak terbukti mentransmisikan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan. Dalam persidangan, Majelis Hakim PN Mataram bahkan menyatakan bahwa unsur “tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dana/atau dokumen elektronik” tidak terbukti sebab bukan ia yang melakukan penyebaran tersebut, melainkan pihak lain.
Sebelumnya ketika bertugas di SMAN 7 Mataram, Baiq Nuril sering mendapatkan perlakuan pelecehan dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Contohnya, ia sering dihubungi oleh Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram dan harus mendengarkan yang bersangkutan menceritakan pengalamannya berhubungan seksual dengan wanita lain yang mana bukan istrinya sendiri.
Merasa tidak nyaman dengan hal tersebut dan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat hubungan gelap seperti yang dibicarakan orang sekitarnya, Baiq Nuril pun merekam pembicaraannya. Atas dasar ini kemudian Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram melaporkannya ke penegak hukum.
Putusan MA ini memiliki catatan tersendiri yang harus dikritisi bersama. Karena dalam lingkup peradilan, Hakim MA terikat pada Perma No. 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan yang berhadapan dengan Hukum, termasuk dalam konteks perempuan yang didakwa melakukan tindak pidana.
Lewat Pasal 3 Perma tersebut hakim wajib mengindentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum, hal ini jelas dialami oleh Baiq Nuril yang merupakan korban kekerasan seksual.