Jumat, 01 April 2022 00:20 UTC
Direktur SD Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih dalam dialog pendidikan di rumah baca Kampoeng Batara, Kabupaten Banyuwangi, Selasa 21 Desember 2021
JATIMNET.COM, Banyuwangi - Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dianugerahi tanah yang subur, dibuktikan hasil panen yang melimpah hingga langganan surplus beras. Namun angka kasus stunting masih tinggi, juga jumlah perkawinan anak, dan masih ada anak yang putus sekolah.
Tiga masalah tersebut, masih menjadi penghalang bagi banyak anak di Banyuwangi, untuk mencapai kesejahteraannya. Stunting terjadi karena kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak.
Gangguan pertumbuhan itu berupa tinggi badan anak yang lebih rendah atau kerdil daripada tinggi standar anak-anak di usianya, serta gangguan perkembangan otak.
Sementara perkawinan anak adalah pernikahan yang dilakukan sebelum mereka berusia 19 tahun, merujuk pada Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Baca Juga: Penanganan Stunting, Surabaya Ciptakan Generasi Emas Lewat Pemantapan Wawasan Pola Asuh Anak
Kasus Stunting di Banyuwangi
Jumlah anak penderita stunting di Banyuwangi tahun 2020 adalah 7.909 anak, atau 8,2 persen dari jumlah seluruh anak di Banyuwangi. Angka itu dari publikasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama Muslimat NU, yang didapat dari laporan Dinas Kesehatan (Dinkes) Banyuwangi.
Kepala Dinkes Banyuwangi Amir Hidayat mengakui tingginya angka stunting di wilayahnya, dan telah menjadi prioritas penanganan pemerintah daerah.
Dia mengatakan, kemiskinan, literasi kesehatan yang kurang, dan kebiasaan buruk di lingkungan keluarga, menjadi penyebab banyaknya kasus stunting di Banyuwangi.
"Sebagian terjadi bukan karen kondisi ekonomi yang kurang, tapi karen perilakunya yang tidak sehat. Jadi mereka ini sebenarnya mampu nutrisi, tapi kadang karena dia nggak paham, sukanya mie instant ya sudah setiap hari dikasih mie instant. Ini akhirnya menjadikan asuhan nutrisinya sangat kurang," kata Amir, Selasa 8 Maret 2022.
Baca Juga: Kasus Stunting Jember di Bawah Rata-rata Jatim, Bupati Jember Ungkap Harus Ada Tindakan Nyata
Pihaknya tengah mengembangkan aplikasi gawai untuk pelaporan kondisi ibu hamil dan kasus stunting sehingga bisa segera terdeteksi dan tertangani. Penggunaan aplikasi itu akan melibatkan organisasi perempuan seperti Muslimat dan Nasyiatul Aisyiyah, untuk mendeteksi kasus stunting hingga di tingkat RT dan mengunggah laporan.
Perkawinan Anak di Banyuwangi
Data perkara yang diterima Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi menunjukkan permohonan izin dispensasi anak agar boleh kawin tergolong tinggi. Jumlahnya di atas seribu per tahun pada 2020 maupun 2021.
Kondisi darurat karena terjadi kehamilan di luar nikah, menjadi salah satu alasan terbanyak orang tua memohon agar anaknya boleh menikah. Bila syarat bukti kondisi darurat terpenuhi, mereka akan mendapatkan dispensasi itu dalam sekali sidang.
Plt Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Banyuwangi, Henik Setyorini, mengatakan pihaknya merespon data itu dengan program Ruang Pemberdayaan dan Perlindungan Ibu-Anak (Ruang Rindu) dan Desa Ramah Perempuan Peduli Anak (DRPPA).
Tahun 2022 pihaknya telah memberikan materi perlindungan dan pemberdayaan anak serta membentuk Forum Anak Desa (FAD) di 70 desa.
Selain menjadi wadah diskusi, forum tersebut mendapatkan tugas untuk menginventarisir permasalahan anak-anak di desanya. Mereka didorong menjadi pelopor dan pelapor untuk menyetop masalah kesehatan pada anak, putus sekolah, hingga pernikahan dini.
Inventarisir permasalahan anak di masing-masing desa akan menjadi data yang masuk ke Pemkab Banyuwangi, untuk memutuskan intervensi yang tepat dan solutif di masing-masing desa.
FAD juga ditugaskan menjaring informasi kasus kekerasan anak, perkawinan anak, anak putus sekolah, dan lainnya, karena laporan yang masuk sangat sedikit bila hanya ditunggu secara pasif.
"Kalau kita hanya menunggu, dari kasus memang banyak, tapi yang terlaporkan cuma sedikit. Untuk progress, nanti kita cek aja lagi data dari Kemenag. Kita sangat berharap kita roadshow itu ada hasilnya, dampak terkait dengan pengurangan pernikahan anak," kata Henik, Rabu 30 Maret 2022
Anak Putus Sekolah di Banyuwangi
Banyaknya anak putus sekolah di Banyuwangi juga belum sepenuhnya teratasi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka partisipasi sekolah (APS) pendidikan formal Banyuwangi tahun 2019 di usia 7-12 tahun adalah 99,85 persen, usia 13-15 tahun 98,24 persen, dan 16-18 tahun 78,06 persen.
Artinya ada 0,15 persen anak di Banyuwangi putus sekolah di usia SD, 1,76 persen pada usia SMP dan 21,94 persen dalam usia SMA. Permohonan wawancara kepada Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Banyuwangi melalui aplikasi pesan, untuk menanggapi data di atas, tidak mendapatkan respon.
Namun sebetulnya sejumlah program dari Pemkab Banyuwangi telah dilaksanakan untuk mengurangi angka putus sekolah, seperti Gerakan Daerah Angkat Anak Putus Sekolah (Gerda Ampuh), Siswa Asuh Sebaya (SAS), dan berbagai bentuk beasiswa.
Persentase jumlah anak putus sekolah di Banyuwangi tahun 2010 sampai 2019 fluktuatif dan cenderung turun.
Direktur SD Kementerian Pendidikan, Kebudyaaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Sri Wahyuningsih mengatakan, kewenangan pengelolaan pendidikan berada di tangan pemerintah daerah. Termasuk penanganan kelanjutan pendidikan anak-anak, terutama yang miskin, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Kemendikbudristek telah mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria) di bidang pendidikan. Pemerintah daerah didorong mampu mengelaborasikan anggaran dan arahan yang ada untuk mengelola pendidikan di wilayahnya.
"Kalau bicara bantuan pemerintah, namanya juga bantuan, mungkin tidak akan bisa (langsung) menyelesaikan persoalan. Kembali lagi, otoritas pengelolaan pendidikan ada di kewenangan pemerintah daerah. Jadi kalau masih dirasa kurang, diperlukan peran daerah," kta Sri di Banyuwangi, Selasa 21 Februari 2022.