Logo

Lumbung Jagung Warga Banyuwangi Jadi Stok Tambahan Pangan Selama Pandemi  

Reporter:,Editor:

Rabu, 27 May 2020 09:00 UTC

Lumbung Jagung Warga Banyuwangi Jadi Stok Tambahan Pangan Selama Pandemi  

STOK PANGAN. Masyarakat Desa/Kec. Kalipuro, Kab. Banyuwangi menyimpan jagung di atas tungku dapur sebagai stok pangan campuran nasi, Kamis, 7 Mei 2020. Kebiasaan ini bermanfaat untuk memenuhi stok pangan di tengah pandemi Covid-19. Foto: Ahmad Suudi

JATIMNET.COM, Banyuwangi – Kebiasaan masyarakat yang memakan nasi campur jagung atau nasi jagung punya keuntungan tersendiri untuk menghemat stok pangan di tengah pandemi Covid-19. Jagung jadi alternatif tambahan atau campuran bahan pangan pokok beras. 

Kebiasaan menyediakan lumbung jagung untuk campuran makan nasi dilakukan sebagian warga Kelurahan/Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi. Jagung diperoleh dari hasil panen sendiri di lahan hutan produksi yang diperbolehkan oleh Perhutani untuk ditanami secara tumpang sari.

Seperti yang dilakukan pasangan suami istri Asnawi dan Sutinah, warga Lingkungan Papring, Kelurahan Kalipuro, yang menanam jagung di lahan seluas seperdelapan hektar. Setelah merawat tanaman jagung selama lima bulan, mereka memanen 300 tongkol jagung yang langsung disimpan di lumbung jagung di dapur.

BACA JUGA: Lumbung Pangan Jatim di Jatim Expo Sediakan Banyak Varian Harga Beras

Lumbung atau tempat penyimpanan jagung itu sangat sederhana yang diletakkan di atas pengapian dapur dan di bawah atap genting rumah. Jagung diletakkan di atas area seperti loteng dengan diberi penahan kayu dan anyaman bambu sebagai dasarnya.

Tempat penyimpanan benda atau barang model tersebut lazim disebut Pogo dalam bahasa Using dan disebut Jurung dalam bahasa Madura. Penduduk di lingkungan setempat rata-rata dari suku Using dan Madura.

Pengasapan dari pengapian atau tungku dapur tersebut menggantikan proses penjemuran sehingga biji-biji jagung bisa tetap utuh hingga habis dikonsumsi sampai lima bulan mendatang. Pasangan kakek dan nenek itu menanak setangkup jagung dengan setengah kilogram beras yang biasa dimakan lengkap beserta sayur dan lauknya.

“Kalau punya jagung lebih baik disimpan sendiri, kalau mau makan tidak usah beli, masak jagung sendiri," kata Asnawi, Kamis, 7 Mei 2020.

Menyimpan hasil panen di lumbung sendiri lebih menguntungkan bagi petani seperti dirinya karena harga jagung di pasaran fluktuatif. Sebelum Ramadan lalu, harga jual jagung di tingkat petani sekitar Rp3.500 per kilogram dan harga jual di pasaran Rp8.500 per kilogram.

BACA JUGA: Pandemi Covid-19, BI dan ACT Operasi Pangan Gratis

Bila hasil panen jagung dia jual seharga Rp3.500 per kilogram, lalu harus beli lagi untuk makan dengan harga Rp3.500 per kilogram, Asnawi merasa rugi. Padahal untuk bertani jagung dia harus menyediakan bibit, pupuk, tenaga penanaman dan perawatan, serta tenaga penjagaan ladang siang malam dari serbuan babi hutan.

Demikian juga yang dilakukan pasangan suami istri, Ahmadun, 60 tahun, dan Muasna, 50 tahun, yang menggarap lahan jagung seluas setengah hektar. Mereka memilih varian jagung berbiji kecil namun lebih padat yang tahan disimpan lebih lama sebagai cadangan makanan.

Keduanya mengatakan bahwa mengonsumsi nasi campur jagung lebih manis dan awet kenyang daripada hanya makan nasi. Selain untuk disantap di rumah, nasi jagung mereka jadikan menu bekal makan siang saat bekerja di lahan yang ada di hutan.

"Kalau nasi putih cepat lapar lagi, jam 10 lapar lagi. Kalau nasi jagung lepas tengah hari baru lapar," kata Ahmadun di dapur rumahnya.

BACA JUGA: Banyuwangi Tambah Alokasi Warga Miskin Penerima Bantuan Dampak Covid-19 

Kepada Jatimnet.com, pegiat literasi di Kelurahan Kalipuro, Widie Nurmahmudy, 41 tahun, mengatakan di masa kecilnya, semua orang di kampung memiliki lumbung. Kebiasaan itu semakin berkurang seiring berjalannya waktu, namun mulai tumbuh dalam masa pandemi kali ini.

Menurut data dari Dinas Pertanian (Disperta) Banyuwangi, produktivitas jagung di Banyuwangi 71,96 kwintal pipil kering per hektar. Widie mengatakan produktivitas jagung di kampungnya sedang tinggi tahun ini karena dipanen pada masa cuaca panas.

Masyarakat membaginya dalam tiga kelas disortir berdasarkan ukuran, tingkat ketuaan, dan keterisian biji-bijinya. Kelas A yang terbaik disimpan di lumbung, kelas B dijemur untuk dimakan beberapa minggu kemudian, dan kelas C langsung dipipil, dijemur, dan digiling untuk dimakan secepatnya.

“Dan biasanya yang tidak dimakan sendiri yang grade B dibagikan ke tetangga juga. Aku juga kemarin dapat dari tetangga," kata Widie.