Logo

Korupsi Kredit Fiktif BRI, Kejari Surabaya Fokus Kembalikan Uang Negara

Reporter:,Editor:

Minggu, 15 September 2019 22:52 UTC

Korupsi Kredit Fiktif BRI, Kejari Surabaya Fokus Kembalikan Uang Negara

Kasi Pidsus Kejari Surabaya, Heru Kamarullah. Foto: Dok.

JATIMNET.COM, Surabaya – Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya fokus mengembalikan kerugian negara akibat penyaluran kredit fiktif di BRI sebesar Rp 10 miliar. Akibatnya, Associate Account Officer BRI, Nanang Lukman Hakim ditahan karena diduga menyalurkan kredit fiktif.

“Kami menduga ada lebih dari Rp 10 miliar yang dikorupsi tersangka,” kata Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Surabaya Heru Kamarullah, Minggu 15 September 2019. Namun Heru belum bisa memastikan nilainya lantaran korupsi diduga dilakukan bersama-sama.

Kejari Surabaya telah menahan tiga tersangka lain dari kasus penyaluran kredit fiktif. Selain Nanang, tiga nama lain adalah Account Officer (AAO) BRI Lanny Kusumawati, Agus Siswanto selaku debitur atau pihak ketiga, dan satu nama lain adalah YOAM.

BACA JUGA: Kejari Surabaya Akan Sita Barang dari Hasil Kredit Fiktif BRI

Satu tersangka lainnya, Nur Cholifah belum dilakukan penahanan lantran tidak pernah hadir dalam pemeriksaan.

Sementara itu, kejaksaan masih belum menyita rumah maupun aset yang dibeli menggunakan uang hasil korupsi. “Masih lima aset itu dulu yang kami sita. Selebihnya masih belum,” Heru melanjutkan.

Mencuatnya dugaan korupsi penyaluran kredit fiktif di BRI ini berawal pada tahun 2018. BRI Surabaya menyalurkan Kredit Modal Kerja (KMK) untuk perusahaan ritel, Max Co kepada sembilan debitur senilai Rp 10 miliar.

BACA JUGA: Debitur Fiktif Bank BRI Ditahan Kejari Surabaya

Pemberian kredit ini diberikan Nanang, yang saat itu masih menjabat AAO. Saat proses pemenuhan persyaratan kredit, Nanang bersekongkol dengan Lanny untuk menyalurkan kredit bodong.

Keduanya diduga memalsukan indentitas debitur. Begitu juga dengan legalitas Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) debitur diduga juga palsu. Selain itu, ada dugaan mark up (penggelembungan) agunan dan penggunaan kredit yang tidak sesuai dengan tujuan.

Dalam menjalankan aksi itu Nanang tidak melaksanakan tugasnya sebagai AAO, yang seharusnya melakukan pengecekan atas syarat akad kredit. Setelah kredit cair, baik Nanang maupun Lanny, serta beberapa pihak turut menikmati pencairan kredit fiktif. Hal ini membuat negara mengalami kerugian mencapai Rp 10 miliar.