Senin, 13 January 2020 15:40 UTC
TUMPANGPITU. Salah satu area penambangan emas di bekas hutan lindung Tumpangpitu, Desa Sumberagung, Kec. Pesanggaran, Banyuwangi. Foto: Istimewa
JATIMNET.COM, Surabaya – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sedang membahas konflik yang melibatkan masyarakat, perusahaan, dan aparat keamanan di wilayah tambang emas bekas hutan lindung gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan pihaknya menaruh perhatian khusus terhadap konflik di wilayah tambang yang dikelola PT Bumi Suksesindo (BSI) anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold (Tbk) tersebut.
"Kami sedang melakukan pembahasan (kasus tersebut), (mohon) ditunggu," kata Choirul Anam saat dihubungi Jatimnet.com, Senin, 13 Januari 2020. Menurut Choirul, Komnas HAM sudah lama menerima laporan dari warga Desa Sumberagung sejak 18 Juli 2018.
Dalam pengaduannya, warga mengadukan dampak tambang yang menimbulkan dugaan pelanggaran HAM dan menurunnya kualitas lingkungan terutama berkurangnya daerah resapan air akibat eksploitasi lahan untuk tambang.
BACA JUGA: Aksi Selasa Kliwonan, Jadi Tradisi Tolak Tambang Tumpang Pitu
Selain itu, fungsi Tumpang Pitu sebagai 'benteng besar' penahan tsunami kini telah tereksploitasi sehingga mengurangi perlindungan pada bahaya tsunami.
Pada tahun 2012-2013, melalui usulan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas dan disetujui Menteri Kehutanan era Zulkifli Hasan, status hutan lindung Tumpang Pitu diubah jadi hutan produksi sehingga bisa dieksploitasi dan negara memberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diajukan investor swasta. Padahal Pemprov Jatim pernah menetapkan Tumpang Pitu sebagai kawasan khusus pelindung tsunami setelah wilayah pantai Pancer dekat Tumpang Pitu dilanda tsunami hebat tahun 1994 dan menimbulkan korban jiwa 229 orang.
Warga khawatir tsunami yang pernah terjadi di pantai Pancer, Desa Sumberagung, bisa terjadi lagi kapan pun. Apalagi Kementerian ESDM melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan daerah selatan Banyuwangi termasuk hutan Tumpang Pitu, pantai Pulau Merah, dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer termasuk zona rawan gempa dan tsunami di pantai selatan Jawa.
Warga berharap Komnas HAM segera turun dan menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dan menghentikan aktivitas tambang karena dianggap melanggar hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin dalam pasal 9 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
BACA JUGA: Tambang Emas Banyuwangi Konflik Lagi, Walhi Desak Komnas HAM Turun
Mengenai sejumlah konflik agraria di Jawa Timur, menurut Choirul, Komnas HAM telah menyampaikannya ke Gubernur Jawa Timur dalam lokakarya penyelesaian konflik agraria di Jawa Timur pada 29-30 Agustus 2018. Khusus konflik di Tumpangpitu, Komnas HAM sedang membahasnya. "Kami bahas masalah (Tumpang Pitu) di (rapat) paripurna," ujar Komisioner HAM asal Malang tersebut.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mendesak Komnas HAM untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dan kriminalisasi yang terjadi di Tumpangpitu. Walhi menyebut sebanyak 13 warga yang menolak tambang mengalami kriminalisasi. Mereka dituduh melakukan perusakan hingga isu yang tak ada kaitannya dengan tambang.
“Kami mendesak Komnas HAM melakukan pemantauan secara langsung di lapangan agar dapat melakukan pengumpulan data secara langsung khususnya terkait pelanggaran HAM dan memberikan dukungan kepada warga Sumberagung yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman industri pertambangan,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur F. Tri Jambore Christanto dalam keterangan pers tertulis, Minggu, 12 Januari 2020.
Walhi juga mendesak pemerintah menarik aparat keamanan di wilayah setempat. “Mendesak pemerintah (Presiden RI) dan Kapolri untuk menarik seluruh aparat keamanan dari Desa Sumberagung,” kata aktivis yang akrab disapa Rere tersebut.
Walhi menyebut Polda Jatim pada 6 Januari 2020 mengeluarkan perintah pengamanan melalui telegram dan menempatkan petugas Birmob untuk mengamankan aktivitas penambangan selama 1,5 bulan sejak 7 Januari 2020. Di tengah pengamanan Brimob tersebut, warga menemukan puluhan peluru di sekitar tenda perjuangan yang didirikan warga di Dusun Pancer, Desa Sumberagung.
"Jumat, 10 Januari 2020, warga menemukan peluru di sekitar Dusun Pancer. Hingga kini warga tak tahu darimana asal peluru tersebut," kata Rere dalam keterangan pers tertulis.
BACA JUGA: Warga Banyuwangi Penolak Tambang Emas Lindungi Bukit Salakan sebagai Penahan Tsunami
Pantauan jatimnet.com di lokasi, warga memang mendirikan tenda di sekitar jalan akses menuju bukit Salakan. Warga khawatir bukit Salakan akan jadi sasaran penambangan selanjutnya selain Tumpang Pitu.
Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Trunoyudo Wisnu Andiko belum memberikan tanggapan saat dihubungi terkait pengamanan Brimob di wilayah setempat dan desakan Walhi agar aparat keamanan ditarik untuk menurunkan ketegangan.
Beberapa kali warga berusaha menghadang beberapa orang yang akan menuju bukit Salakan. "Salakan harapan terakhir nelayan Pancer untuk pencegahan seandainya ada tsunami lagi di Dusun Pancer," kata salah satu warga, Adin. Bukit Salakan selama ini dijadikan lokasi pengungsian warga jika terjadi gempa bumi yang berpotensi tsunami.
Kontroversi tambang emas di Tumpang Pitu terjadi sejak tahun 2006. Beberapa perusahaan telah diberi izin oleh pemerintah untuk melakukan eksplorasi (pengeboran penyelidikan) dan eksploitasi (produksi penambangan) dan terakhir dilakukan PT BSI hingga kini.
Sejak 2012 hingga 2016, BSI memenuhi persyaratan mulai dari Izin Usaha Pertambangan (IUP), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan, studi kelayakan peningkatan kapasitas produksi, sertifikasi JORC, akuisisi lahan kompensasi, dan beberapa kali Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dengan luas tertentu. Setelah memperoleh pendanaan dari luar negeri, sejak 1 Desember 2016 BSI memulai penambangan bijih mineral dan per 17 Maret 2017 memulai produksi emas.