Logo

Kasus TB di Jatim Tinggi, FK Unusa Skrining ke Ponpes Zainul Hasan Genggong

Reporter:,Editor:

Selasa, 05 August 2025 06:30 UTC

Kasus TB di Jatim Tinggi, FK Unusa Skrining ke Ponpes Zainul Hasan Genggong

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unusa melakukan pemeriksaan dini atau skrining gejala TB pada santri Ponpes Zainul Hasan Genggong, Kab. Probolinggo, Selasa, 5 Agustus 2025. Foto: Januar

JATIMNET.COM, Surabaya – Kasus penyakit Tuberkulosis (TB) cukup tinggi di Jawa Timur. Menurut laporan Global TB Report 2023, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan beban TB tertinggi di dunia setelah India, dengan estimasi 1.060.000 kasus baru pada tahun 2022.

Di Jawa Timur, lebih dari 60 riu kasus tercatat sepanjang 2020 hingga 2023.

Hal ini membuat Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (FK Unusa) kembali melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat di lingkungan pondok pesantren, dengan fokus pada peningkatan kesadaran dan deteksi atau skrining dini penyakit tuberkulosis (TB).

Bertempat di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Kabupaten Probolinggo, kegiatan ini menyasar 50 santri, termasuk anggota baru dari komunitas Santri Husada.

Dosen FK Unusa Diyan Wahyu Kurniasari menyoroti pentingnya edukasi dan deteksi dini terhadap TB, terutama di lingkungan pesantren yang padat dan komunal. Kondisi ini rentan terhadap penularan penyakit menular seperti TB.

“Lingkungan pesantren merupakan populasi dengan risiko tinggi terhadap TB. Karena itu, pendekatan edukasi dan skrining harus dilakukan secara berkala dan menyeluruh,” ujar Diyan di sela kegiatan, Selasa, 5 Agustus 2025.

BACA: Kemenkes RI Targetkan Eliminasi Penyakit TBC Tahun 2030

Meskipun merupakan penyakit yang dapat dicegah dan disembuhkan, berbagai mitos masih melekat di masyarakat, seperti anggapan bahwa TB adalah penyakit keturunan, hanya menyerang paru-paru, hingga tidak dapat disembuhkan.

Mitos-mitos inilah yang menjadi tantangan dalam upaya penanggulangan TB. Banyak penderita yang enggan memeriksakan diri karena takut akan stigma atau karena kurangnya pengetahuan tentang gejala dan cara penularannya.

Hal tersebut menjadi perhatian utama FK Unusa untuk memperkuat peran edukasi berbasis komunitas.

Kegiatan dimulai dengan pre-test untuk mengukur tingkat pemahaman para santri terhadap TB. Edukasi disampaikan secara interaktif dengan bahasa dan pendekatan yang disesuaikan dengan usia dan latar belakang peserta.

Materi mencakup definisi dan penyebab TB, jalur penularan, gejala klinis seperti batuk kronis dan penurunan berat badan, serta pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan kesehatan diri.

Setelah sesi edukasi, post-test kembali dilakukan guna mengukur peningkatan pemahaman peserta. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan signifikan dalam pengetahuan para santri mengenai TB.

Selain edukasi, kegiatan juga mencakup skrining awal menggunakan metode anamnesis. Metode ini dilakukan melalui wawancara sistematis dan pengisian kuesioner, untuk menggali riwayat kesehatan peserta yang berkaitan dengan gejala TB, seperti batuk berkepanjangan, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan yang tidak diketahui sebabnya.

Menurut Diyan, metode anamnesis merupakan langkah awal yang efektif dalam mengidentifikasi kasus TB secara dini, terutama di lingkungan dengan mobilitas dan interaksi tinggi seperti pesantren.

“Melalui pendekatan ini, kami bisa mengetahui indikasi awal TB meskipun belum dilakukan pemeriksaan laboratorium atau radiologi. Ini sangat membantu dalam proses rujukan dini dan pencegahan lanjutan,” katanya.

BACA: Eliminasi Tuberkulosis, Satgas Optimis Incidence Rate TB di Surabaya Menurun

Pengurus Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong menyambut positif kegiatan ini dan berharap dapat dilakukan secara berkala. Menurut mereka, kegiatan seperti ini tidak hanya memperkaya wawasan para santri, tetapi juga memperkuat pola hidup bersih dan sehat di lingkungan pesantren.

FK Unusa menegaskan komitmennya untuk terus mendampingi komunitas pesantren dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan bebas dari penyakit menular.

Selain itu, diharapkan para santri yang telah mendapatkan edukasi dapat menjadi agen perubahan yang membawa semangat pencegahan TB ke masyarakat luas.

“Edukasi yang tepat dan berkelanjutan adalah kunci utama dalam menekan laju penyebaran TB di Indonesia. Kami percaya bahwa santri memiliki potensi besar menjadi pionir dalam menciptakan perubahan, tidak hanya di pesantren, tetapi juga di lingkungan keluarga dan sosial mereka,” kata Diyan.

Kegiatan ini menjadi bagian dari komitmen FK Unusa dalam menyinergikan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang berorientasi pada solusi nyata bagi persoalan kesehatan di Indonesia.