Reporter
Hari IstiawanSenin, 24 September 2018 - 22:15
Sebuah Titik Balik
BANYAK pelajaran yang diambil Iksan selama ikut major label, meski banyak juga ruginya dalam pandangan Iksan. Misalnya, ada beberapa karya bikinannya untuk band orang lain tapi hingga kini belum ada royalti sama sekali yang diterima. Lagunya juga ada yang dipakai Kotak Band, tapi royaltinya sedikit. “Ndak tega saya mau menyebut nominalnya,” katanya sambil tertawa.
Ia juga tidak tahu dalam major label menggunakan sistem yang bagaimana. Sistemnya sepihak, kondisi musik di Indonesia lemah. Kalau pun ada badan yang mengurusi, tidak bergerak sebagaimana mestinya sehingga tidak punya kekuatan untuk menanyakan benar tidak laporannya.
“Makanya musisi yang masuk ke label itu ibaratnya buruh outsourching, tidak punya kejelasan ini sudah sub ke berapa kita tdk tahu,” katanya.
Berangkat dari pengalaman itu, Iksan selalu menekankan kepada manajemennya bahwa, Independen musik adalah kemandirian dalam bisnis musik atau semacam UKM. Sehingga dirinya menjadi bos atas karya-karyanya. Mengerti aturan-aturannya sendiri dan bisa mengatur sendiri.
Di era sekarang, kata Iksan, dengan perkembangan teknologi yang menghilangkan batas-batas wilayah, denagn berkarya di Malang saja cukup menurutnya, tidak perlu pergi ke Jakarta seperti dirinya waktu tahun 2000-an.
Tantangan musisi sekarang adalah membuat karya dan konsisten. Karena Iksan mengamati kalau, pekerjaan rumah para seniman musik sekarang adalah berkarya atau produktif. Tinggal bagaimana promosinya yang menarik, berkarakter atau ikonik. “Tidak perlu hijrah secara fisik ke Jakarta seperti jamanku,” katanya.
Meski demikian, satu di antara sisi baik pernah ikut major label adalah soal disiplin dan profesional. Sebab, musik di konteks bisnis, menurut Iksan, bukan hanya musik ya musik, tapi seorang seniman harus bisa menjelaskan musiknya itu bagaimana.
“Kita harus siap, bagaimana kemasannya, ketika perform harus bagaimana, Harus siap merespons yang selayaknya direspons,” ujarnya.
Produktif dan konsisten kuncinya. Ini dibuktikan Iksan dengan merilis album hampir setiap tahun. Karya pertamanya sebagai solois adalah album berjudul Matahari, berisi 15 lagu, rilis tahun 2012. Berselang satu tahun, Iksan kembali meluncurkan album barunya berjudul “Folk Pupuli, Folk Dei”, berisi 10 lagu tahun 2013. Kemudian album “Kecil Itu Indah Vol. 1” rilis tahun 2014, disusul album “Shankara” (2015), album “Benderang Terang” (2016), album “Gulali” (2017), album “Kecil Itu Indah Vol. 3” (2018), album “Live Session Vol. 4” (2018), dan album “Bapakku Indonesia” (2018).
Sudah sembilan album yang dikeluarkan Iksan dengan total 89 lagu. Jumlah ini belum termasuk lagunya yang masuk di album kompilasi yang berjumlah 8 album. Kompilasi “Frekuensi Perangkap Tikus” (ICW, 2012), kompilasi “Ruang Putih Vol 2” (2013), kompilasi “Green In Peace”, kompilasi “Kecil Itu Indah Vol.2” (2015), kompilasi ‘Sanak Kadang Vol. 1” (2014), kompilasi “Sepi” (2014), kompilasi “Papua iItu Kita” (2016), dan kompilasi “Perangi Korupsi” 2018. Akhir 2018 ini, Iksan akan merilis album solonya yang ke sepuluh.
Tema lagu-lagunya cukup beragam, namun hampir semuanya merespons apa yang ada di sekitarnya. Seniman yang hidup di sebuah tempat, pasti membuat karya yang identik dengan wilayah itu.
Ia menyontohkan, album pertama dan kedua yang cukup keras karena ia tinggal di Jakarta yang kehidupannya juga keras. Album ke tiga sampai tujuh, empat sangat berbeda tensinya karena dibuat di Malang. “Kalaupun protes lebih sopan,” kata Iksan dengan senyum khasnya.