Sabtu, 23 May 2020 05:00 UTC
SALAT ID. Pelaksanaan Salat Idul Fitri untuk jamaah putri di Pondok Pesantren Mahfilud Duror. Foto: Faizin.
JATIMNET.COM, Jember - Pondok Pesantren Mahfilud Duror di Desa Suger Kidul, Kecamatan Jelbuk, Jember, Jawa Timur, Sabtu 23 Mei 2020 sudah menggelar salat Idul Fitri. Pelaksanaan salat id itu tidak hanya santri saja, melainkan diikuti oleh warga sekitar yang mencapai ribuan orang.
Pelaksanaan salat Idul Fitri di pesantren tersebut lebih awal satu hari dari ketetapan pemerintah, yakni pada Minggu 24 Mei 2020. Namun pelaksanaan Salat Idul Fitri di pesantren ini yang lebih awal satu hari dari ketetapan pemerintah sudah terjadi sejak lama.
“Sejak tahun 1911 Masehi, ketika kakek saya mendirikan pesantren ini,” KH Ali Wafa, pengasuh Pondok Pesantren Mahfilud Duror saat berbincang ramah dengan Jatimnet.com usai salat Id, Sabtu 23 Mei 2020.
BACA JUGA: Warga Muhammadiyah Diimbau Salat Idul Fitri di Rumah
KH Ali Wafa merupakan generasi ketiga dari pengasuh pesantren ini. Sang kekek, KH Muhammad Sholeh, menetapkan metodologi penetapan awal puasa dan hari raya dengan mengacu pada sebuah kitab klasik berbahasa Arab atau lazim disebut kitab kuning.
Penetapan tersebut berdasarkan perhitungan tanggal, bukan melihat bulan seperti yang dilakukan oleh pemerintah. “Dasarnya dari kitab Nazhatul Majalis, yang ditulis Syaikh Abdurrohman as-Sufuri as-Syafii. Kitab ini diajarkan oleh guru kakek saya, yakni KH Abdul Hamid Itsbat, dari Banyuanyar, Madura,” jelas KH Ali Wafa.
Saat masih kecil, Ali Wafa mengaku tidak mengetahui dasar penetapan awal puasa dan lebaran dari sang kakek. “Tetapi setelah saya mondok di pesantren di Madura, saya akhirnya tahu kitab ini, yang menjadi dasar penetapan,” ujar pria yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Bata-Bata, Madura ini.

KITAB. KH Ali Wafa, pengasuh Pondok Pesantren Mahfilud Duror, menunjukkan kitab yang digunakan sebagai dasar penetapan awal puasa dan lebaran. Foto: Faizin
Menurut KH Ali Wafa, kitab tersebut juga dijadikan pegangan penetapan hari raya Idul Fitri dan awal puasa di beberapa tempat. “Tetapi saya tidak tahu di mana saja,” ujarnya.
Di dalam kitab tersebut, terdapat pendapat hukum dari imam terkemuka yang juga keturunan Nabi, yakni Imam Ja’far Shodiq yang menyatakan bahwa lima hari dari awal ramadan yang pertama, ini akan menjadi awal ramadan pada tahun berikutnya.
“Tahun lalu, kita mengawali Ramadhan pada hari Minggu, sehingga tahun ini mundur menjadi hari Kamis. Kemudian puasa ramadan, saya genapkan 30 hari, sehingga 1 Syawal jatuh pada hari ini,” KH Ali Wafa menerangkan
BACA JUGA: Surat Edaran Salat Idul Fitri Blunder
Karena melalui perhitungan KH Ali Wafa biasa melakukan penetapan untuk beberapa tahun sekaligus. Selama rentah waktu rentang waktu tersebut, beberapa kali terjadi persamaan dengan pemerintah, meski lebih sering berbeda.
“Saya ijtihad melakukan penetapannya untuk lima hingga delapan tahun sekali. Tidak selalu berbeda. Dalam lima tahun misalnya, ada dua hingga tiga kali lebaran yang sama dengan pemerintah. Tetapi perbedaannya tidak pernah lebih dari satu hari,” jelas KH Ali Wafa.
Pelaksanaan salat id di pesantren tersebut juga sama persis seperti pada umumnya. Khutbah mula-mula disampaikan dalam bahasa Arab, lalu dilanjutkan dengan bahasa Madura.

SANTRI. Pelaksanaan Salat Idul Fitri untuk jamaah putra di Pondok Pesantren Mahfilud Duror Faizin.
Jamaah terdiri dari santri dan warga yang ada di Desa Suger Kidul, serta beberapa desa lain yang ada Kecamatan Jelbuk serta di Bondowoso. Desa Suger Kidul merupakan desa di Jember yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Bondowoso.
Salat id di desa tersebut pada Sabtu ini dibagi menjadi tiga titik. “Masjid satu diimami oleh saya sendiri, khusus untuk jamaah putri. Kemudian masjid satunya lagi untuk jamaah putra, imam salatnya adalah Kiai Abdurrohman, yang juga kakak saya. Kemudian masjid ketiga yang terdiri dari jamaah putra-putri dipimpin oleh KH Abdul Malik yang juga paman saya,” ujar KH Ali Wafa.
Jarak antara masjid yang khusus menampung jamaah putra dan putri hanya sekitar 20 meter saja. Jumlah jamaah mencapai sekitar 1.000 orang. “Ya perkiraannya, kalau saya adakan pengajian, konsumsi lebih dari 1.000 piring,” lanjut KH Ali Wafa.
BACA JUGA: Pemkab Madiun Larang Warga di Zona Merah Covid Salat Idul Fitri di Masjid
Usai salat id, warga juga mengadakan tradisi berkunjung sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya. Namun tidak semua warga desa setempat mengikuti penetapan dari pesantren pimpinan KH Ali Wafa. “Ada juga yang rukyatul hilal,” jelas KH Ali Wafa.
Meski kerap merayakan idul Fitri dalam dua hari yang berbeda, tidak pernah terjadi permasalahan di desa tersebut. “Masyarakat malah menginginkan selalu berbeda setiap tahun. Mereka malah bilang, kalau bisa jangan sampai sama. Karena dengan berbeda (dua hari raya), penghasilan bisa dua kali,” ujar KH Ali Wafa setengah berkelakar
.
Namun “permintaan” warga tersebut tidak bisa diturutinya. “Karena kan ada sumber dalilnya, tidak bisa asal menetapkan,” pungkas KH Ali Wafa.