Selasa, 11 December 2018 01:30 UTC
Sholahudin memainkan tokoh wayang Praguto (kiri) dan Pwabowo (kanan) dari lakon Jejer Dwarawati. Foto: Dyah Ayu Pitaloka
PRAGUTO dan Prabowo terlibat dalam peperangan sengit. Dua punggawa Prabu Kresna ini lincah meloncat, menyerang dan menghindar. Di tangan Sholahudin, dua tokoh wayang dalam lakon Jejer Dwarawati itu seolah hidup dengan diiringi gending ayak 8, tetabuhan khas pengiring peperangan di pewayangan Jawa Timur.
Bagi sholahudin, pertunjukan wayang sudah akrab sejak kecil. Ketika ada acara khitan atau bersih desa, ia terbiasa menonton dengan para tetangganya di kampung. Tak heran, jika dia kini menggeluti seni pertunjukan wayang yang sudah jarang diminati generasi milenial.
“Saya suka wayang sejak TK. Dulu selalu minta ibu untuk nganterin lihat wayang kalau lagi ada pentas,” kata Sholahudin, satu dari 12 siswa Kelas 1 Jurusan Seni Pedalangan SMKN 12 Surabaya, Senin 10 Desember 2018.
Ia mengingat setidaknya ada dua jenis wayang yang sering ditontonnya sejak kecil. Awalnya pemuda asal Gresik, Jawa Timur ini hanya membedakan dari ada tidaknya campursari, serta bahasa Jawa yang digunakan. Belakangan, ia paham jika wayang Jawa Timuran tak pakai campursari. Dan karena inilah, Sholahudin tertarik mempelajarinya. “Bahasanya mudah dipahami,” katanya.
Di SMKN 12 Surabaya, Anak pertama dari tiga bersaudara menempa jiwa seninya dengan mempelajari ragam wayang Jawa timuran yang cukup beragam. Di sekolah ini, ia lebih suka mendalami gagrak atau gaya Mojokerto karena nadanya lebih tinggi daripada gagrak Porong.
“Gagrak Porong itu lebih utuh suaranya, gagrak Mojokerto nadanya sedikit njerit,” katanya menjelaskan.
Selain Sholahudin, sebagian besar teman sekelasnya memang sudah akrab dengan kesenian yang telah dinobatkan sebagai warisan dunia versi UNESCO ini. Salah satunya adalah David Herdiansyah.
Pelajar kelahiran Pasuruan ini malah pernah pentas di Lamongan untuk pertama kali. Waktu itu David membawakan lakon berjudul Bagong Nagih Janji. Kisah yang ditulis oleh kakek temannya.
Dalam pewayangan, lakon karangan baru sering disebut dengan carangan. Isi ceritanya muncul untuk memenuhi pesanan penanggap wayang. Sehingga, menurut David, lazim bagi sesama pelajar Jurusan Pedalangan saling berbagi pengetahuan tentang dalang dan wayang. Sebab tak semua bahan diajarkan di kelas. “Alhamdulilah pentas pertama lancar, penontonnya juga banyak,” kata David.

Siwa jurusan Seni Pedalangan SMKN 12 Surabaya sedang belajar memainkan gending dalam pentas wayang. Foto: Dyah Ayu Pitaloka
Tak ada Jurusan Pedalangan di Perguruan Tinggi Jawa Timur
Jurusan Pedalangan yang ada di SMKN 12 Surabaya sudah ada sejak tahun 1973. Saat ini pengajarnya memberikan materi dua lakon. Yaitu Parta Krama dan Rekso Saputro.
Yang pertama berkisah tentang upaya Arjuna muda menyunting Dewi Subrada dalam wayang Surakarta. Sedangkan yang ke dua berkisah tentang lakon Gundo Wijoyo dalam wayang Jawa Timuran.
“Semua yang sekolah di sini kalau lulus nanti harus bisa menguasai dua lakon ini,” kata Sholahudin.
Dikutip dari jurnal berjudul “Wayang Kulit Jawa Timuran Cengkok Trowulan: Asal Usul dan Peta Penyebaran”, diketahui sejumlah ciri khas pada Wayang Jawa Timuran. Di antaranya kendang yang lebih besar dan panjang yang bisa menghasilkan suara khas.
Kemudian kecrek dari logam, Tari Remo di awal pentas, ukuran boneka yang lebih kecil, bahasa dengan dialek Suroboyoan dan sekitar Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo dan Lamongan.
Lalu penampilan dalang dengan baju tradisional Jawa Timuran. Berupa blangkon Jawa Timuran, bawahan sewek atau kain panjang, atasan beskap, dan tidak mengenakan keris.
Kepala Kompetensi Pedalangan SMKN 12 Harnowo tak menampik jika sekolahnya juga mengajarkan wayang Surakarta. Pasalnya referensi tentang wayang Jawa Timuran tak sebanyak wayang Surakarta ataupun wayang Yogyakarta.
“Saya rasa di Jawa Timur belum ada jurusan wayang di kampus. Selama ini jurusan wayang ada di ISI Surakarta dan Yogyakarta. Di sana wayang Jawa Timuran juga dipelajari meskipun sedikit,” kata Harnowo.
Belum adanya jurusan khusus pedalangan di kampus menurutnya berdampak pada perkembangan wayang Jawa Timuran. Muridnya terancam tak memilliki kesempatan untuk menggali lebih dalam keilmuan pedalangan dan wayang Jawa Timur selepas SMK.
Sementara ragam wayang Jawa Timur yang ada belum terdokumentasikan dengan baik. Naskah akademik tentang kesenian yang dipopulerkan oleh para wali ini juga terbatas. Harnowo yakin, jika ada jurusan khusus wayang Jawa Timur ilmunya bisa lebih luas dan wayangnya juga bisa berkembang.
Jangankan urusan perguruan tinggi, jumlah pelajar yang pasang surut di jurusannya juga menjadi masalah tersendiri. Sehingga Harnowo merasa lega jika jurusan wayang didukung oleh pemerintah.
Sebab, tanpa dukungan dan komitmen pemerintah ia khawatir jurusannya mudah hilang lantaran peminatnya sedikit.
“Kemarin bu Risma (Wali Kota Surabaya) bilang, jurusan ini jangan sampai tutup meskipun hanya ada satu siswa. Semoga jangan pernah ya,” kata Harnowo berharap.
Berkat dukungan pemerintah, jumlah siswa yang belajar seni pertunjukan ini terus meningkat sejak lima tahun terakhir. Saat ini total ada 33 siswa dengan beberapa di antaranya perempuan.
SMKN 12 Surabaya kini menjadi jujugan siswa dari pelosok Jawa Timur. Seperti Jember, Banyuwangi, Kediri, lumajang hingga Ponorogo. Mereka umumnya ke Surabaya lantaran Surakarata atau Yogyakarta terlalu jauh untuk belajar mendalang.
Menurutnya SMKN 12 menjadi satu-satunya sekolah kejuruan negeri dengan jurusan pedalangan di Jawa Timur. Kondisi yang lebih baik ada di Jawa Tengah dan DIY dengan sejumlah sekolah tersebar di Banyumas, Surakarta dan di Bantul-Yogyakarta.