Kamis, 14 August 2025 08:00 UTC
Masyarakat melihat atraksi sound horeg digelar di Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, Minggu, 6 Juli 2025. Foto: Pegiat Sound Horeg Jombang
JATIMNET.COM – Variasi hiburan terus berkembang, termasuk di bidang dengar suara musik. Instrumen musik tak hanya diperdengarkan pada acara-acara tertentu dan di ruang-ruang tertentu.
Ekspresi melalui dengar suara musik kini berkembang tak hanya di kalangan terbatas dan sudah semakin masuk ke ruang publik.
Hiburan musik melalui pengeras suara berkapasitas besar tak lagi diperdengarkan di momen-momen tertentu, seperti pernikahan, khitanan, pengajian, perlombaan, dan sebagainya.
Hiburan dengar suara musik tersebut semakin menjadi hobi masyarakat. Meski secara ekonomi tidak mampu, mereka yang gandrung dan “terhipnotis” dengan hiburan musik bisa membeli seperangkat sound system yang menghasilkan volume besar atau di atas rata-rata.
Karena besarnya volume tersebut, maka akan menimbulkan getaran tertentu yang bisa mengganggu apa saja dan siapa saja di dekatnya.
Jangkauan atau radius dampaknya tidak hanya dalam hitungan puluhan meter, bisa sampai ratusan meter, tergantung pengaturan volume dan perangkat pengeras suaranya.
Karena efek getaran itu, orang menyebutnya sound horeg atau suara yang menimbulkan getaran (horeg, getar, atau goyang).
Karena dampaknya bisa menggangu ruang publik, maka Gubernur Jawa Timur Bersama Kapolda Jawa Timur dan Pangdam V/Brawijaya mengeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) tertanggal 6 Agustus 2025.
BACA: Jawa Timur Atur Penggunaan Sound System/Sound Horeg, Ini Aturannya
Ada empat poin yang diatur dalam surat tersebut, antara lain batas tingkat kebisingan, kapasitas atau ukuran sound system, waktu dan rute parade sound system, serta aturan penggunaan sound system untuk kegiatan sosial masyarakat.
Surat edaran tersebut mengatur batas maksimal volume sound system yang statis atau tidak bergerak adalah 120 A-weighted Decibels (dBA) dan volume sound system yang bergerak atau berjalan maksimal 85 dBA.
Lalu apakah sound horeg berdampak pada gangguan kesehatan khususnya telinga manusia?
Dokter Spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher (THT-KL) Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, dan Ilmu Alam (FIKKIA) Banyuwangi Universitas Airlangga (Unair) Citra Dwi Novastuti mengatakan volume tinggi sound horeg yang mencapai 130-135 desibel (dB) berpotensi menyebabkan kerusakan permanen pada organ pendengaran.
Citra menjelaskan paparan suara keras dalam jangka pendek maupun panjang mengakibatkan gangguan pendengaran yang dikenal sebagai Noise Induced Hearing Loss (NIHL). Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah intensitas suara, frekuensi, dan lamanya paparan.
BACA: Batasan Sound Horeg Diberlakukan, Polda Jatim dan Polres Jajaran Bisa Tindak Pelanggar
“Suara dengan intensitas tinggi, bahkan dalam waktu singkat, dapat merusak sel rambut halus di koklea, yang berfungsi memproses suara,” ujarnya dikutip dari website FIKKIA Unair, Selasa, 29 Juli 2025.
Citra menjelaskan standar kesehatan internasional menetapkan ambang batas kebisingan harian yang aman adalah antara 85-90 dB.
Menurutnya, suara di atas 90 dB masuk kategori berbahaya dan memerlukan alat pelindung telinga, terutama bagi mereka yang bekerja di lingkungan bising. Paparan suara sound horeg dengan intensitas 130 dB hanya dapat ditoleransi tubuh selama kurang lebih 1,5 detik tanpa risiko kerusakan.
“Lebih dari itu, risiko kerusakan sel rambut koklea bersifat permanen yang berujung pada gangguan pendengaran, bahkan tuli,” ujarnya.
Dampak jangka panjang dari paparan suara keras ini sangat merugikan, terutama jika terjadi pada usia muda. Kerusakan sel rambut koklea menyebabkan gangguan pendengaran permanen, dengan risiko tuli terjadi di masa produktif, bukan hanya ketika usia lanjut.
Hal ini dapat menghambat kemampuan individu dalam bekerja maupun berinteraksi sosial.
Citra menjelaskan gejala awal yang kerap diabaikan adalah tinnitus atau telinga berdenging yang hilang timbul.
“Jika paparan suara keras terus berlanjut, tinnitus berkembang menjadi gangguan pendengaran nyata, seperti kesulitan menangkap percakapan dalam keramaian,” ujarnya.
BACA: Ganggu Masyarakat saat Sahur, Polres Mojokerto Amankan Empat Kendaraan Sound Horeg
Kerusakan yang sudah terjadi bersifat irreversible atau tidak dapat diubah atau dikembalikan ke keadaan semula, sehingga fokus utama adalah pencegahan.
Menurutnya, beberapa obat dengan antioksidan, misalnya ginkgo biloba, mungkin membantu melindungi saraf pendengaran. Tetapi pengobatan tradisional lainnya belum terbukti secara ilmiah efektif. Penderita gangguan pendengaran berat dapat menggunakan alat bantu dengar atau implan koklea sebagai rehabilitasi.
“Bising adalah penyebab tuli yang nyata. Hindari bising sekarang demi masa depan pendengaran yang sehat,” ujar Citra.
Pencegahan Dampak Kebisingan
Pencegahan mutlak dilakukan dengan menghindari atau membatasi paparan suara bising. Bila tidak bisa dihindari, penggunaan pelindung telinga seperti earplug atau earmuff dianjurkan pada lingkungan dengan tingkat kebisingan di atas 80 dB.
Penggunaan earphone juga harus dibatasi dengan metode 60-60, yakni volume maksimal 60 persen dan durasi maksimal 60 menit sehari.
Masyarakat yang sering berada di lingkungan bising disarankan menjalani pemeriksaan pendengaran secara berkala. Dokter THT akan melakukan tes audiometri dan pemeriksaan telinga lainnya.
Teknologi pengukur kebisingan, seperti aplikasi DBmeter, juga berperan penting untuk membantu memantau level suara di sekitar dan mengambil langkah pencegahan.