Logo

Dilemanya Tarif PPN Naik Jadi 11 Persen Pasca Pandemi

Reporter:,Editor:

Senin, 06 June 2022 11:40 UTC

Dilemanya Tarif PPN Naik Jadi 11 Persen Pasca Pandemi

Ilustrasi Kenaikan PPN. Foto: net

JATIMNET.COM, Surabaya - Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mengalami kenaikan 1 % dari 10 persen menjadi 11 %mulai 1 April 2022 lalu. Kenaikan tersebut diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mana dalam Pasal 7 disebutkan mengenai penyesuaian tarif PPN baru tersebut.

Atas kebijakan itu, Pengamat sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Bidang Akuntansi Perpajakan UHW Perbanas Dr. Supriyati menilai meski pemerintah di satu sisi menaikkan di unsur PPN, namun di unsur Pajak Penghasilan (PPh) ada yang diturunkan. Ia pun berasumsi dari sisi pemerintah yang diinginkan adalah aspek keadilannya.

“Dulu di PPh Pasal 17, 0-50 juta dikenakan tarif 5%, 50-250 juta kena 15%. Sekarang diubah, 0-60 juta itu 5%. Artinya, orang-orang yang memiliki penghasilan 50-60 juta menikmati adanya penurunan tarif pajak untuk PPh,” kata Supriyati kepada reporter jatimnet.com, Senin 6 Juni 2022.

Selain itu, menurutnya, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara misalnya, PPN 11% masih dinilai rendah bahkan sebenarnya jauh lebih murah. Pasalnya, negara-negara di Asia Tenggara rata-rata PPN-nya sudah 15%.

Baca Juga: Realisasi Pajak Daerah di Surabaya Capai Rp 579,7 Miliar

“Memang kelihatannya naik 1%, tapi ada fasilitas lain yang bisa dinikmati bersamaan dengan munculnya UU Harmonisasi. Dulu, memang sedikit sekali barang yang tidak dikenakan PPN. Tapi sekarang sudah banyak barang atau jasa tertentu yang memang dibebaskan dari PPN,” ia menjelaskan.

Kendati demikian, dari kacamatanya sebagai pengamat, 1% di PPN imbasnya ke harga jual barang. Sehingga jika PPN tersebut masuk ke harga pokok dari produk yang dijual dan harga pokoknya justru menjadi lebih mahal, maka harga jual pun juga menjadi mahal.

“Dilemanya sekarang setelah masa pandemi, kenaikan harga tidak hanya dari aspek PPN, tapi banyak aspek yang naik secara bersama-sama. Saya melihat 1% untuk tahun 2022 ini masih kurang tepat waktunya, karena bersamaan dengan pasca pandemi,” ia memaparkan.

“Sebab pasca pandemi ini, tanpa adanya PPN pun semuanya naik. Misalnya bahan kebutuhan pokok, memang dibebaskan dari PPN. Tapi lonjakan harganya melebihi 1% kenaikannya. Sehingga jadi terasa kenaikan PPN bersamaan dengan inflasi, padahal tidak,” ia menguraikan.

Baca Juga: Sisa 37 Hari, DJP Jatim II Ingatkan PPS Wajib Pajak Mojokerto-Jombang

Di samping itu, daya beli masyarakat pasca pandemi juga sudah menurun. Sehingga terlihat barang-barang yang menjadi kebutuhan itu tampak mahal. Inilah yang kemudian akan menjadi efek lain bahwa nantinya semakin memperburuk daya beli masyarakat.

“Yang dipikirkan produsen saat ini adalah kalau daya beli masyarakat menurun, efek jangka panjangnya produknya tidak akan laku. Kalau tidak laku, efeknya kembali ke proses produksinya juga akan terhambat, ini efek dari PPN. Mungkin kalau tidak ada pandemi, 1% pun tidak terasa, tidak ngefek,” ia menerangkan.

Meski dirasa begitu, namun pemerintah sudah memberikan dispensasi 6 bulan di UU HPP ini untuk masa transisinya, guna mengantisipasi adanya sejumlah perubahan lain dari sudut pandang UMKM, ataupun di perusahan-perusahaan yang memang terkena dampak dari PPN 1% ini.

“Bagi pengusaha-pengusaha pabrikan atau bagi UMKM kenaikan PPN ini efeknya ke daya beli. Karena yang menanggung PPN pasti pembelinya, bukan penjualnya, sehingga nanti yang kena dampak naiknya PPN pasti masyarakat yang membeli barang-barang tersebut,” ia menjabarkan.