Logo

Di Balik Cerita Transportasi Dokar yang Mulai Ditinggalkan

Reporter:,Editor:

Senin, 01 March 2021 00:20 UTC

Di Balik Cerita Transportasi Dokar yang Mulai Ditinggalkan

LANGKA : Seorang warga yang sedang gowes berswa foto di dokar full musik milik Abu Naim, warga Desa Selowogo, Kecamatan Bungatan, Situbondo, Minggu 28 Februari 2021. Foto: Hozaini

JATIMNET.COM, Situbondo - Keberadaan dokar atau delman yang dulunya merupakan transportasi tertua di Indonesia kian tersisih di tengah pesatnya alat transportasi massal. Apalagi di era yang sekarang ini serba teknologi, dokar  sudah mulai kurang diminati dibandingkan mode transportasi modern berbasis aplikasi.

Pemilik dokar pun mulai memutar otak agar tetap diminati penumpang, seperti yang dilakukan Abu Naim, warga Desa Selowogo, Kecamatan Bungatan, Situbondo. Pria 46 tahun itu tampil beda dengan melengkapi dokarnya dengan musik. Seperangkat sound system berukuran kecil diletakan di bawah lapak atau tempat duduk bagian depan.

“Awalnya saya taruh sound system mini di dokar hanya untuk mengusir jenuh saat menunggu penumpang. Diluar dugaan, dokar full musik ini ternyata jadi daya tarik sendiri bagi penumpang,” kata Abu Naim, ditemui usai mengantar penumpang di taman Blitok, Kecamatan Bungatan, Minggu, 28 Februari 2021.

Menurut Naim, selama ini penumpangnya hanya pedagang pasar. Mereka memilih naik dokar karena barang belanjaannya cukup banyak. Namun sejak dokarnya dilengkapi alat musik, banyak anak-anak jadi penasaran dan ingin menaikinya.

Baca Juga: DPRD Situbondo Geram, Alat CT Scan Rp 9 Miliar Dibiarkan Rusak di Rumah Sakit

“Sering anak-anak menangis ingin naik dokar ini karena saya putar lagu anak-anak. Mungkin karena dokar sudah langka, anak-anak jadi penasaran ingin menaikinya,” katanya

Naim mengakui kalau keberadaan dokar sudah mulai tersisih. Tidak seperti saat dirinya masih kecil mode transportasi dokar menjadi pilihan utama. Ia mengaku tetap bertahan menjadi kusir dokar karena tak memiliki pekerjaan lain.

Naim mengisahkan, dirinya sudah 14 tahun menjadi kusir dokar. Dari hari ke hari memang terjadi penurunan penumpang. Karena itu, Naim memilih mangkal di pasar tradisional Bungatan, karena penumpangnya rata-rata pedagang maupun warga yang berbelanja ke pasar.

“Saya jadi kusir dokar sejak 2007. Kalau sekarang penumpangnya masih ada tapi tidak seperti dulu. Saya tidak punya pekerjaan lain selain menjadi kusir dokar,” katanya bapak dua orang anak itu.

Baca Juga: Menilik Kampung Tahu di Situbondo

Menurutnya, pendapatan menjadi kusir dokar memang tak menentu tergantung banyaknya penumpang. Apalagi trayek dokar cuma melayani penumpang lokal di seputaran Kecamatan Bungatan saja.

“Pendapatan saya setiap harinya tak menentu, kadang Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu. Mudah-mudahan keberadaan dokar yang semakin langka ini akan jadi berkah bagi kusir dokar di kemudian hari,” ujarnya.

Saat ini, lanjut Naim, hanya ada empat dokar di Kecamatan Bungatan. Banyak pemilik dokar sudah beralih profesi karena pendapatannya lebih menjanjikan. Naim berharap, pemerintah ikut melestarikan keberadaan dokar. 

Misalnya, menjadikan dokar sebagai alat transportasi di lokasi wisata, karena dokar salah satu mode transportasi ramah lingkungan. “Sekarang Situbondo punya Bupati baru. Mudah-mudahan Bupati yang baru punya perhatian terhadap kami yang sudah nyaris punah,” pintanya.