Logo

Desa di Banyuwangi Budidayakan Lalat Tentara Hitam untuk Urai Sampah

Reporter:,Editor:

Senin, 25 November 2019 09:23 UTC

Desa di Banyuwangi Budidayakan Lalat Tentara Hitam untuk Urai Sampah

PENGURAI SAMPAH. Lalat Tentara Hitam atau Black Soldier Fly (BSF) dibudidayakan di Tempat Pengolahan Sampah Sementara (TPST) Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, untuk mengurangi sampah organik. Foto: Ahmad Suudi

JATIMNET.COM, Banyuwangi – Kamar dengan dinding berwarna hijau berukuran sekitar 5 X 6 meter diisi lima kantung kain hitam tertutup yang ditegakkan dalam kerangka besi persegi panjang.

Bila kantung itu didekati, akan terdengar pelan suara serangga berterbangan dalam gelap. Itulah lalat tentara hitam yang baru bermetamorfosis, dihindarkan dari cahaya untuk menunda kawin, agar memiliki jadwal bertelur yang seragam.

Di dinding lainnya, berjajar rak-rak yang juga dari besi menopang baki-baki plastik warna merah dan biru. Bila baki plastik ditarik dari rak akan tampak di dalamnya, bergerumul ratusan ulat dengan badan coklat beruas dan berkaki.

Itulah maggot atau larva hasil tetasan telur lalat tentara hitam yang akan berubah menjadi kepompong dan keluar sebagai lalat baru.

BACA JUGA: Pemuda Banyuwangi Belajar Memasak Makanan Ritual

Mia Laila (22) mondar-mandir masuk dan keluar ruangan dengan baki di tangan berisi sampah organik yang telah difermentasi. Diceritakannya pada Jatimnet, setiap kotak 'rumah' para larva dimasuki 1 kilogram sampah yang akan mereka lahap habis dalam sehari.

Termasuk maggot dalam rak-rak di luar ruangan, semuanya menghabiskan 600 kilogram sampah organik yang telah difermentasi setiap hari.

"Penetasan telur dilakukan di dalam laci. Setelah berusia 5 hari larva siap untuk pembesaran dan sudah bisa makan sampah," kata gadis berjilbab biru itu beberapa waktu lalu.

Di ruang terbuka depan kamar itu juga berdiri kantung-kantung kain kasa putih yang menjadi kandang lalat tentara hitam dewasa. Sekitar seminggu mereka hidup di kandang putih akan menghasilkan sekitar 40 butir telur baru, lalu mati. Mia mengatakan total masa hidup lalat tentara hitam sekitar 45 hari.

BACA JUGA: Pemerintah: Baru 20 Persen Potensi Tambang di Jawa Timur Tereksplorasi

Mia pegawai baru di unit budidaya lalat tentara hitam Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, yang dikelola Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) desa setempat.

Dia mengatakan TPST itu menjual maggot dengan harga Rp 5 ribu per kilogram dan kasgot atau sisa pakannya yang bagus untuk pupuk tanaman dengan harga Rp 10 ribu per kilogram.

"Kasgot yang berhasil dijual rata-rata 30 kilogram per hari," kata dia.

Bumdes Tembokrejo mendirikan dan mengelola TPST sejak tahun 2017 dengan bimbingan dari Systemic, perusahaan swasta yang menginisiasi proyek pengelolaan sampah dan inkubasi bisnis kehutanan non kayu yang berkantor di London, Munich dan Jakarta.

AWASI. Mia Laila (22) pegawai Tempat Pengolahan Sampah Sementara (TPST) Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, mengawasi Lalat Tentara Hitam dalam kantung jaring putih. Foto: Ahmad Suudi

BACA JUGA: 56 Tim SMA/SMK Banyuwangi Bangun Jembatan dari Spageti

Black Soldier Fly (BSF) atau lalat bernama latin hermetia illucens itu dibudidayakan untuk mengurangi sampah yang diterima TPST Tembokrejo dari limbah warganya.

Technical Facility Officier Systemiq, Putra Perdana Kusuma (37), mengatakan produksi sampah oleh masyarakat sudah terlalu banyak untuk ditampung tempat pembuangan akhir (TPA) Banyuwangi.

Apalagi faktanya Banyuwangi hanya mengandalkan TPA sementara, karena TPA Bulusan yang sebelumnya menjadi satu-satunya yang beroperasi telah ditutup dalam kondisi penuh bukit sampah.

Keuntungan penguraian sampah menggunakan lalat tentara hitam, kata Putra, selain banyaknya sampah yang mereka makan, juga tidak menimbulkan bau di ruang kerja. Dia menjelaskan pada umumnya sampah organik tidak akan mengeluarkan bau busuk bila segera dipilah dan masuk ke proses selanjutnya.

BACA JUGA: Polemik Dioksin di Telur Ayam, Pemprov Diminta Tekan Impor Sampah Plastik

Dia menjelaskan TPST Tembokrejo menerima 12 hingga 15 ton sampah campuran per hari yang kemudian dipilah. Proses pemisahan dilakukan dengan konveyor dimana pegawai mengumpulkan sampah plastik.

Sementara sampah organik yang akan dijadikan pupuk atau makanan maggot dan residu akan terus berjalan hingga tumpah ke keranjang di ujung konveyor.

"Sampah yang kami terima 30 persen berupa plastik. Sementara lebih dari 50 persen berisi sampah kebun, sampah dapur malah sedikit," kata Putra.

Artinya 30 persen sampah plastik, dan jenis sampah daur ulang lain, sudah dipilah dan dijual untuk mengurangi pembuangan ke TPA. Sementara sampah organik dikurangi dengan cara dijadikan pupuk organik dan pakan maggot. Dari belasan ton sampah yang masuk TPST per hari, berhasil dikurangi hingga tersisa 40 persen residu yang kemudian diangkut ke TPA.

BACA JUGA: Selain Telur, Ecoton Sebut Kemungkinan Susu Juga Tercemar Dioksin

Menurutnya, dibutuhkan semakin banyak maggot untuk mengonsumsi lebih banyak lagi sampah organik yang dihasilkan masyarakat. Apalagi, kata Putra, Indonesia dinyatakan sebagai negara kedua yang membuang sampah paling banyak ke laut setelah Cina.

Namun TPST Tembokrejo masih memiliki beberapa kekurangan yang menjadi catatannya sebelum berhenti mendampingi pengelolaannya pada tahun 2021 nanti. Yakni kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah di tempat yang sudah disediakan dan membayar iuran sampah.

Penjualan sampah saset yang minim peminat dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mayoritas memiliki kesadaran tertib bekerja yang rendah, juga menjadi soal.

"Pemilahan masih kurang dari 50 persen dari sampah yang masuk, targetnya kalau mampu memilah 75 persen dari sampah yang masuk itu bagus," kata Putra.