Logo

Berpuasa di Negeri Tirai Bambu Cina

Reporter:

Minggu, 26 May 2019 09:54 UTC

Berpuasa di Negeri Tirai Bambu Cina

Tembok besar Cina. Foto: Unsplash

JATIMNET.COM, Surabaya – Kesan berbeda dirasakan Yudi Hermawa. Mahasiswa Tianjin University, Cina. Mulai dari waktu puasa yang lebih panjang, dan suasana budaya yang berbeda dengan kampung halamannya, Pulau Kangean, Madura.

"Puasa ya puasa saja. Bahkan orang lain tidak pernah tahu, kalau saya sedang tidak makan dan tidak minum," kata mahasiswa Jurusan Administrasi Bisnis itu menceritakan pengalaman puasa di tengah lingkungan yang tidak berpuasa itu.

Begitulah sejatinya puasa, karena sebagaimana Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, bahwa semua amal ibadah anak Adam hanya untuk diri sendiri, kecuali puasa yang hanya untuk Allah.

Aktivitas ibadah yang lain, seperti salat, zakat, dan haji masih bisa dilihat oleh orang lain. Tidak demikian halnya dengan puasa, orang lain tidak tahu jika seseorang sedang menahan lapar dan dahaga sehari penuh.

BACA JUGA: Lima Spot Ngabuburit di Malang

Dalam beberapa tahun terakhir, bulan Ramadan di belahan bumi bagian utara, termasuk daratan Cina, jatuh pada musim panas.

Itu berarti waktu edar matahari di Cina, terutama di wilayah Utara dan Timur Laut, seperti Beijing, Tianjin, Shenyang, Changchun, dan Harbin, lebih lama dan lebih terik dibandingkan dengan di Selatan.

Durasi waktu puasa di kota-kota tersebut relatif lebih lama dibandingkan dengan di wilayah Selatan.

Sebagai perbandingan, waktu Imsak di Beijing pada tanggal 21 Ramadhan 1440 Hijriah 26 Mei 2019, pukul 03.15 dan magrib pukul 19.34.

BACA JUGA: Jelang Lebaran, Pemkot Kediri Buka Posko Pengaduan THR

Sementara di Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang, yang agak ke Selatan, imsak pukul 03.26 dan maghrib 18.52.

Di Cina, semakin maju perjalanan bulan Ramadan, semakin lama durasi waktu puasanya karena matahari terbit lebih dini, sedangkan waktu terbenam lebih lambat.

Dibandingkan dengan di Indonesia, tentu saja masa puasa lebih lama karena bisa jadi Yudi yang tinggal di Tianjin sudah imsak, sedangkan keluarganya di Indonesia bagian Barat masih terlelap, apalagi adanya perbedaan waktu satu jam.

Demikian halnya ketika keluarganya di Kangean sudah bersiap Salat Tarawih, dia masih iftar.

BACA JUGA: Lima Jenis Kolak Favorit untuk Hidangan Takjil

"Tapi karena suasana di sini tidak lazimnya bulan Ramadan, maka lamanya waktu puasa pun tidak terasa," ujarnya.

Buka di Masjid Changying

Berbeda dengan Tianjin, suasana di Changying, Beijing, lebih mengingatkan dengan Ramadan di Indonesia.

Sabtu petang, tepat pukul 19:34 (18:34WIB), belasan orang di beranda Masjid Changying membatalkan puasanya dengan seteguk air yang sudah disiapkan.

Sementara beberapa orang lainnya, menikmati menu iftar di salah satu ruang takmir.

BACA JUGA: Arumi Seimbangkan Menu Sahur dengan Sayur Bening

Semua makanan, mulai dari semangka, aneka bolu, roti isi daging, bakpao, daging cincang campur jeroan sapi hingga bubur kacang merah, tersaji di atas meja.

Umat Islam dan takmir mengitari meja saji. Sebagian ada yang duduk, sebagian lainnya berdiri, dengan satu tujuan melepas lapar dan dahaga yang ditahan hampir 16,5 jam di awal musim panas yang menyengat.

Beraneka macam penganan itu berasal dari warga yang tinggal di Changying, distrik urban yang banyak dihuni oleh umat Islam Cina beretnis Hui.

"Anda nanti boleh kok bergabung bersama kami," kata Mao Yungling, takmir Masjid Changying mengajak penulis menikmati menu iftar.

BACA JUGA: Empat Tempat Berbuka di Malang

Permukiman Muslim di Subdistrik Changying merupakan yang terbesar di Beijing dibandingkan dengan di Niujie yang memiliki masjid tertua.

Meskipun tidak menyandang ikon umat Islam Cina seperti Niujie, jumlah jemaah di Masjid
Changying lebih besar.

"Jemaah tarawih saja bisa 400 orang setiap hari," kata Mao yang sudah puluhan tahun mengabdi di Masjid Changying.

Pada saat shalat Id, pria berusia 76 tahun yang sudah pergi haji itu menyebutkan angka jemaah 700 orang.

BACA JUGA: ACT Distribusikan Bantuan Paket Berbuka Puasa di Sekitar Gaza

"Tapi kalau Jumat bisa 1.000 orang yang shalat di sini," kata Baiyu, salah satu imam di masjid yang dibangun masa Dinasti Ming (1368-1644) dan direkonstruksi pada masa Dinasti Qing (1644-1911).

Sebagai area suburban di wilayah timur Beijing, Changying boleh dibilang daerah komunitas Muslim terpadu. Tidak hanya masjid, fasilitas pendukung lainnya pun, termasuk sekolahan, dibangun oleh pemerintah daerah kota setempat.

Warung dan rumah makan dengan beraneka macam makanan halal bertebaran di wilayah itu. Pasar tradisional berdampingan dengan pasar modern yang sama menyediakan beragam bahan makanan dan minuman bersertifikat halal.

Changying juga mudah dijangkau dengan kendaraan umum, seperti bus kota dan kereta bawah tanah (subway), dari pusat kota.

BACA JUGA: Membuang Waktu, Menunggu Buka Puasa di Jembatan Suroboyo

Beberapa apartemen di wilayah itu juga terlihat bernuansa Islam. "Boleh dibilang Changying ini kawasan halalnya Beijing, bahkan lebih besar dibandingkan dengan Niujie," kata Riyono Utomo, warga negara Indonesia yang sudah 23 tahun tinggal di Beijing. (ant)