Sabtu, 29 September 2018 02:00 UTC

Siti Salma yang menjual gerabah dan beberapa peralatan rumah tangga di Pasar Pandegiling. FOTO Afiyah Romadhoni.
JATIMNET.COM, Surabaya – Gerabah atau perkakas yang terbuat dari tanah liat, dan dibentuk menjadi peralatan yang berguna ini masih bisa ditemui meski tidak mudah. Contohnya kendi, celengan, dan peralatan dari tanah liat lainnya yang dijual di Pasar Jojoran Kelurahan Jojoran Kecamatan Gubeng.
BACA JUGA : Kotoran Sapi Bisa Menjadi Sumber Energi Listrik
Salmah (70) salah satu penjual di Pasar Jojoran mengaku telah bertahan 30 tahun lebih menjual gerabah di pasar tersebut. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini penjualan gerabahnya susut drastis.
“Dulu jualan saya ini sebagian besar gerabah semua. Namun sekarang masyarakat lebih suka yang plastik karena ringan dan praktis,” ucapnya saat ditemui di Pasar Jojoran, Rabu 29 Agustus 2018.
Salmah tidak menyerah. Dia tetap bertahan kendati dihadapkan dengan kenyataan. Bahwa menjual gerabah sudah semakin susah. Itulah realita.
BACA JUGA : Kualitas Ikan Lele Makin Berkualitas dengan Teknik Biona
Dijumpai Jatimnet di lapaknya, Salmah menerangkan pembeli gerabah dikarenakan kebutuhan tertentu. Semisal pada saat kelahiran bayi, nikahan, dan kegiatan lainnya. “Meskipun banyak yang suka plastik, tapi masih ada saja yang membutuhkan alat dapur yang terbuat dari gerabah,” katanya.
Untuk mengatasi sedikitnya peminat, Salmah berinisiatif untuk lebih memerbanyak produk kebutuhan rumah tangga lainnya. Semisal sisir, lilin, mainan anak-anak, tempat celengan, kaca rias dan alat perlengkapan rumah lainnya.
Warga Kalidami ini menceritakan usahanya ini karena melanjutkan usaha mertuanya, yang juga pernah berjualan gerabah. Menurutnya usaha gerabah ini tidak meraup keuntungan besar di tengah majunya era digital. Namun hasil yang didapat sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Keuntungan paling besar ia dapat adalah 15 ribu per item, yaitu pada tampah yang terbuat dari anyaman bambu. Salmah membeli barang dagangan itu dari beberapa pasar besar yang ada di Surabaya semisal Pasar Pabean, Pasar Blauran, dan Pasar Turi.
Adapun gerabah yang dibelinya dari beberapa pasar tersebut adalah cobek kecil hitam Rp 5.000, cobek kecil merah Rp 4.000, kendi besar Rp 10.000, kendi kecil Rp 5.000, tampah Rp 15.000, dan ulek-ulek Rp 5.000.
“Sebenernya kuncinya itu telaten kalau mau jualan gerabah. Supaya pendapatan yang didapat bisa dibuat modal lagi dan mencukupi kebutuhan sehari-hari,” pungkasnya.
Di pasar lain, yaitu di daerah Pandegiling, Siti Salma juga menjual gerabah yang keuntungannya menunggu musimnya tiba.
“Kalau musim kelahiran penjualan bisa mencapai 30-50 biji per bulannya. Tapi kalau tidak musim, sebulan cuma bisa menjual lima hingga enam biji saja yang laku,” ucapnya.
Sebenarnya Siti Salma bukan pemilik usaha tersebut. Ia hanya karyawan yang juga tinggal di tokonya dan menjaga 24 jam. Itu memudahkannya memahami kebutuhan pelanggan yang kerap datang ke lapak majikannya.
Fokus usaha pemilik lapak sebetulnya pada janur (daun kelapa yang muda). Menjual janur lebih menghasilkan daripada menjual gerabah. Diantara gerabah yang ia jual adalah kendi kecil dengan harga Rp 15.000 dan kendi besar seharga Rp 20.000. Namun ia juga menyediakan cobek yang dijual seharga Rp 10.000.
“Antara untung dan tidak. Karena keuntungannya pada saat musim kelahiran. Ketika tidak musim kelahiran, masih bisa ditutupi dengan pendapatan menjual janur,” pungkas wanita umur 48 tahun itu.
