Selasa, 26 August 2025 07:40 UTC

DPRD Jombang saat menggelar paripurna. Foto: Taufiqur Rachman
JATIMNET.COM, Jombang – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Jombang menaikkan tunjangan transportasi dan perumahan Anggota DPRD melalui Peraturan Bupati Nomor 42 Tahun 2025 menuai kritik tajam dari akademisi dan pengamat kebijakan publik.
Kenaikan yang berlaku mulai 1 Januari 2025 ini dinilai tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang masih berjuang dengan beban kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan harga kebutuhan pokok.
Berdasarkan Perbup Nomor 66 Tahun 2024, tunjangan perumahan Ketua DPRD naik dari Rp29,2 juta menjadi Rp37,9 juta per bulan, Wakil Ketua dari Rp21,8 juta menjadi Rp26,6 juta, sementara anggota tetap di angka Rp18,8 juta. Tunjangan transportasi juga mengalami kenaikan dari Rp12,9 juta menjadi Rp13,5 juta per bulan untuk semua anggota.
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya Ahmad Sholikhin Ruslie menilai kebijakan ini mengandung ketidakadilan struktural.
"PP Nomor 1 Tahun 2017 menyatakan tunjangan representasi Ketua 100 persen, Wakil Ketua 80 persen, dan Anggota 75 persen," ujar Sholikhin kepada awak media, Selasa siang, 26 Agustus 2025.
BACA: PBB-P2 Naik 1.202 Persen, Warga Jombang Ancam Bergerak Seperti Pati
Sholikhin menambahkan jika hanya pimpinan yang dinaikkan sementara anggota dibekukan, jelas melanggar prinsip proporsionalitas.
"DPRD adalah lembaga kolektif yang seharusnya tidak menciptakan hierarki privilege," katanya.
Namun, Sholikhin mempertanyakan keselarasan kebijakan ini dengan semangat keadilan di tengah beban kenaikan PBB yang dirasakan masyarakat. Bahkan, kenaikan PBB di Jombang ada yang sampai di atas 1.000 persen.
"Etiskah pimpinan DPRD menikmati kenaikan tunjangan perumahan hampir Rp8 juta per bulan. Sense of crisis harusnya menjadi pertimbangan utama," katanya.
Kritik serupa disampaikan Sosiolog Universitas Darul Ulum Jombang Mukari.
Menurutnya, dalam perspektif keuangan publik, prioritas anggaran seharusnya berpihak pada layanan dasar masyarakat, seperti kenaikan PBB dan ketimpangan sosial mestinya menjadi fokus utama pemerintah daerah.
"Dengan PDRB per kapita hanya Rp39,553 juta dan masalah stunting yang masih tinggi, kenaikan tunjangan dewan terkesan tidak menyentuh kebutuhan riil rakyat," kata Mukari.
Data kinerja legislatif memperkuat argumen kritikus. Dalam setahun terakhir, DPRD Jombang hanya menghasilkan 12 Perda dengan hanya tiga Perda yang berasal dari inisiatif dewan.
"Kenaikan tunjangan tidak sejalan dengan produktivitas legislatif. Good governance menuntut akuntabilitas yang berimbang dengan hak yang diterima," katanya.
BACA: Respons Keluhan Kenaikan PBB, DPRD Jombang Tinjau Ulang Perda Pajak Daerah dan Retribusi
Sementara itu, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jombang M. Nashrulloh menanggapi kritik tersebut.
Ia membenarkan adanya penyesuaian tunjangan tersebut dan menyatakan bahwa kenaikan sudah sesuai regulasi. Namun, ia belum bisa merinci besaran total penghasilan masing-masing anggota dewan yang diterima.
"Penyesuaian sudah sesuai regulasi dan mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan Legislatif. Ya benar, penyesuaian dilakukan mengikuti aturan terbaru," katanya.
Selain itu, Sekretaris DPRD Jombang Bambang Sriyadi menambahkan aturan tersebut menjadi rujukan bagi pemerintah daerah dalam menentukan besaran hak keuangan legislatif.
"Semua tunjangan telah mengacu pada Perbup Nomor 66 Tahun 2024 yang ditetapkan dengan prosedur hukum yang benar. Semua pemberian tunjangan didasarkan pada regulasi tersebut," katanya.
Polemik kebijakan ini juga dinilai kontradiktif dengan komitmen pemerintah daerah dalam mengatasi ketimpangan. Sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian 43 persen penduduk Jombang masih tertinggal dengan produktivitas di bawah rata-rata nasional.
Kemudian, kebijakan tunjangan ini diprediksi akan menjadi bahan pembahasan dalam rapat paripurna DPRD mendatang, menyusul tekanan publik yang semakin menguat.
