Selasa, 22 September 2020 13:40 UTC
Foto: Ilustrasi.
JATIMNET.COM, Surabaya – Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia dan sejumlah pusat studi HAM perguruan tinggi menolak pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 dilanjutkan. Sikap ini disebabkan kekhawatiran para akademisi terhadap keselamatan masyarakat apabila pilkada dipaksakan.
Kordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), dan Pusat Studi HAM/HRLS Fakultas Hukum Unair, Herlambang P. Wiratraman mengatakan bahwa masyarakat merasa was-was bila pelaksanaan pilkada tidak dihentikan.
“Kami rasa kampus harus bicara, karena keselamatan pemilih menjadi taruhannya,” ujar Herlambang dalam konfrensi pers secara daring, Selasa 22 September 2020.
Pengumuman melanjutkan pilkada yang disampaikan Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rahman, bersamaan dengan peningkatan pasien positif Covid-19. Bahkan di hari yang sama, angka penambahan terkonfirmasi mencapai 4.000 orang. Dengan total jumlah yang terjangkit SARS-Cov-2 mencapai 249.852 orang.
BACA JUGA: Cegah Covid-19, Akademisi Usul Kampanye dan Pemungutan Suara Seperti Ini
“Ini menampar akal sehat kita, dalam artian pemerintah gagal menurunkan atau mengendalikan pandemi Covid-19,” Herlambang menegaskan.
Karena itu, pihaknya mengecam keras persetujuan bersama yang dilakukan DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu, yang terus melanjutkan Pilkada 2020.
Menurutnya, keputusan pemerintah memperlihatkan ketidakpekaan atas kondisi dan suara rakyat. Selain itu, pemerintah dianggap mengabaikan penyelamatan hak-hak dasar warga yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
Muhammadiyah, NU, dan kekuatan masyarakat hanya memberi masukan yang objektif di atas realitas nyata pandemi yang makin menaik.
— Haedar Nashir (@HaedarNs) September 21, 2020
Alasan Presiden Joko Widodo, yang disampaikan juru bicaranya bahwa Pilkada 2020 tetap dilaksanakan sebagai bentuk demokrasi konstitusional, merupakan pernyataan manipulatif dan mengerdilkan demokrasi.
“Keputusan tetap melanjutkan tahapan pilkada, bagi kami merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia. Karena pembiaran atas pertaruhan korban dan nyawa. Apalagi pemerintah telah gagal mengendalikan pandemi sejak tujuh bulan lalu,” jelas Herlambang.
SEPAHAM Indonesia, KIKA, dan Pusat Studi HAM Fakultas Hukum Unair mendesak pilkada serentak ditunda. Setidaknya sampai pandemi Covid-19 bisa dikendalikan. “Minimal penurunan angka yang menjadi batas aman bagi keselamatan warga,” imbuhnya.
Tutuntan lain adalah meminta pemerintah harus menyiapkan kerangka kebijakan maupun regulasi protektif, terkoordinasi dengan baik. Terutama dengan para ahli dan asosiasi medis, ahli epidemiologi, dan lembaga riset terkait yang menopang kebijakan protektif tersebut.
BACA JUGA: Pilkada 2020 Tetap Sesuai Jadwal, Jokowi: Tak Bisa Tunggu Pandemi Berakhir
Terakhir, pemerintah harus memperlihatkan komitmen politik yang mengutamakan keselamatan hak-hak warga. Kemudian memperkuat kondisi layanan kesehatan, perlindungan tenaga medis, dan realisasi progresif perlindungan secara paripurna hak-hak asasi manusia.
Sementara itu, Ketua CHRM2 Universitas Negeri Jember, Al Hanif menambahkan, harusnya negara paham apabila pilkada dipaksanakan. Sebab dampak yang ditimbulkan cukup besar terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakat. “Rasa aman dan nyaman warga harus dilindungi,” Al Hanif mengatakan.
Penolakan serupa juga disampaukan PB NU. Dalam laman resminya pada Ahad 20 September 2020, PB NU mendesak pemerintah menunda pelaksanaan pilkada serentak. Sikap serupa juga disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam akun twitter-nya sehari kemudian.