Rabu, 15 January 2020 01:05 UTC
TUMPANG PITU. Tampak citra satelit terbaru yang menampakkan lahan yang dieksploitasi untuk tambang emas di Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kec. Pesanggaran, Banyuwangi. Foto: Repro Google Maps
JATIMNET.COM, Surabaya – Akademisi Universitas Airlangga (Unair) yang juga peneliti Hak Asasi Manusia (HAM), Herlambang P. Wiratraman, mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyikapi dugaan pelanggaran HAM akibat aktivitas pertambangan di kawasan bekas hutan lindung Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi.
“Segera lakukan investigasi dan mendesak pemerintah menghentikan aktivitas tambang di Tumpang Pitu,” kata Herlambang yang juga Ketua Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) Indonesia pada Jatimnet.com, Selasa, 14 Januari 2020.
Herlambang menyebut Komnas HAM dapat menggunakan wewenang pemantauan yang dimiliki dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM terkait operasi tambang yang dilakukan PT. Bumi Suksesindo (BSI) dan pengerahan aktivitas berlebih oleh aparat kepolisian di sekitar lokasi tambang.
BACA JUGA: Tambang Emas Banyuwangi Konflik Lagi, Walhi Desak Komnas HAM Turun
“Eksplorasi tambang di daerah tersebut tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berpotensi besar melanggar hak asasi manusia,” kata peraih Anugrah Konstitusi Muhamad Yamin 2018 ini.
Menurutnya, keberadaan tambang di Tumpang Pitu yang kemudian membawa dampak negatif pada masyarakat sekitar bermula dari perubahan status Tumpang Pitu dari hutan lindung menjadi hutan produksi.
Penurunan status kawasan hutan itu akibat adanya surat Nomor 522/635/429/108/2012 yang diajukan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan, yang juga mantan Ketua MPR. Dalam surat tersebut, Anas meminta Menteri Kehutanan mengubah kawasan hutan lindung seluas 9.743,28 hektar di BKPH Sukamade, Pesanggaran, Banyuwangi, menjadi kawasan hutan produksi tetap.
BACA JUGA: Komnas HAM Bahas Konflik Tambang Emas Tumpangpitu Banyuwangi
Permohonan itu pun disetujui Zulkifli namun luas kawasan hutan lindung yang diminta tidak disetujui seluruhnya. Zulkifli menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 826/Menhut–II/2013 tanggal 19 November 2013 dan mengubah sekitar 1.942 hektar hutan lindung di Tumpang Pitu menjadi hutan produksi.
Keputusan itulah yang jadi akar persoalan sehingga Tumpang Pitu bisa dieksploitasi untuk kepentingan industri tambang. Padahal keuntungan industri pertambangan sangat terbatas dibanding manfaat dan fungsi Tumpang Pitu sebagai kekayaan ekosistem alam dan ‘benteng’ dari ancaman tsunami di pantai selatan Banyuwangi.
“Ini menunjukkan pemerintah tidak punya komitmen atas pengelolaan sumber daya alam yang membentengi kehidupan manusia tatkala ada bencana,” ujar pengajar Fakultas Hukum Unair ini.
Ia juga mencatat sejak 2012 terjadi berbagai bentuk aksi represif oleh pemerintah dan aparat keamanan pada warga yang menolak tambang. Bahkan sejumlah warga diduga telah dikriminalisasi karena menolak tambang setempat sebagai salah satu obyek vital nasional.
Kepala Desa Sumberagung, Vivin Agustin, sebenarnya telah mengajukan surat permohonan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BSI dan PT Damai Suksesindo di wilayahnya kepada Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, Senin 25 November 2019.
BACA JUGA: Kades Sumberagung Memohon Gubernur Jatim Cabut Izin Tambang Emas Tumpang Pitu
Permohonan tersebut dibuat berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam UU diatur tentang penghentian sementara IUP dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berdasarkan penolakan warga. "Karena desakan warga," kata Vivin dihubungi Jatimnet.com, Selasa, 26 November 2019.
Namun aspirasi warga terdampak tambang tersebut tak digubris pemerintah. Bahkan saat ini aktivitas tambang menyasar lokasi lain selain Gunung Tumpang Pitu. Perusahaan bersama peneliti sedang meakukan penyelidikan atau eksplorasi di bukti Salakan. Untuk mengamankan aktivitas tersebut, Polda Jatim menempatkan sejumlah Brimob sejak 7 Januari 2020 hingga 1,5 bulan.
Warga mencegah upaya penambangan di bukti Salakan sebab Salakan jadi ‘benteng terakhir’ dan tempat evakuasi warga ketika terjadi gempa berpotensi tsunami di pantai selatan Banyuwangi.
Bahkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyebutkan warga menemukan 22 selongsong peluru hampa yang tercecer pada Jumat, 10 Januari 2020, di jarak sekitar 500 meter dari lokasi ‘tenda perlawanan’ yang didirikan warga.
“Pengerahan kepolisian untuk menjaga tambang emas tersebut justru memperlihatkan cara-cara otoriter yang tidak lagi relevan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ramah terhadap HAM,” ujar Herlambang.
BACA JUGA: Warga Banyuwangi Penolak Tambang Emas Lindungi Bukit Salakan Tempat Evakuasi Tsunami
a menilai kebijakan pemerintah daerah yang melindungi eksploitasi tambang emas menunjukkan kepemimpinan daerah yang sangat buruk dan tidak memiliki komitmen ekologi dan kemanusiaan. "Bertolak belakang alias kemunduran dengan gencarnya banyak negara dunia mengkampanyekan strategi menghadapi perubahan iklim,” ujarnya.
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan pihaknya menaruh perhatian khusus terhadap konflik agraria di Jawa Timur khususnya wilayah tambang Tumpang Pitu yang dikelola PT. Bumi Suksesindo (BSI) anak perusahaan PT. Merdeka Copper Gold (Tbk).
"Kami sedang melakukan pembahasan (kasus tersebut), (mohon) ditunggu," kata Choirul, Senin, 13 Januari 2020. Mengenai investigasi yang akan dilakukan Komnas HAM, Anam belum dapat menjelaskan mengenai langkah yang akan dilakukan. "Ditunggu saja," katanya.
