Minggu, 03 February 2019 04:12 UTC
Empat elemen masyarakat melakukan aksi di Balai Pemuda dengan tuntutan penolakan perubahan nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari, Jumat 10 Agustus 2018 di Balai Pemuda. Foto: Dok.
JATIMNET.COM, Surabaya – Perubahan nama jalan di sebagian ruas Jalan Gunungsari Surabaya akan diresmikan Minggu 3 Februari 2019. Nantinya jalan ini akan berubah nama menjadi Jalan Prabu Siliwangi dan akan ditandai dengan pendirian Tugu Mastrip yang berdiri di depan Yani Golf.
Perubahan nama ini dilakukan sebagai bentuk harmonisasi Jawa dan Sunda. Sebenarnya akan ada dua jalan yang akan diubah yaitu Jalan Gunungsari dan Jalan Dinoyo. Jalan Gunungsari berubah jadi Jalan Prabu Siliwangi dan Jalan Dinoyo menjadi Jalan Sunda.
Namun bukan berarti pergantian nama jalan ini berjalan mulus. Sejumlah pihak, terutama pegiat sejarah, kompak menolak perubahan nama tersebut. Alasannya, Jalan Gunungsari penuh dengan sejarah.
Salah satu pegiat sejarah, Kuncarsono Prasetyo menjelaskan alasan penolakan perubahan nama dua jalan tersebut. Menurutnya, baik Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari memiliki sejarah yang sangat panjang, melewati usia Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri.
Sejarah itu ditulisnya dalam page @suroboyombois di Facebook. Dia menjabarkan pada 1809-1811, Gubernur Hindia Belanda Willem Herman Daendles membangun jalur pos yang menghubungkan Anyer-Panarukan. Saat menembus Surabaya, jalan tersebut menembus Desa Dinoyo. Sedangkan Gunungsari adalah percabangannya. Artinya dua jalan ini satu rangkaian.
BACA JUGA: Pansus Setujui Perubahan Nama Jalan Dinoyo dan Gunungsari
Kuncar lalu menjabarkan dari dalam kota kawasan Jembatan Merah, jalur jalan kuno itu menuju selatan melewati Gemblongan, Toendjoengan, Kaliasi, Desa Kepoetran, Desa Groedo, Desa Ketampon, Desa Denojo (Dinoyo), Desa Darmo Redjo, Desa Pandjoenan (sekarang Terminal Joyoboyo).
Dari sini, jalur kemudian bercabang. Salah satu jalur ke selatan menuju Sidoarjo hingga berakhir di Panarukan. Adapun jalur yang lain menuju Sepanjang melewati Desa Tegalsarie, Desa Soeroenan, Desa Goenoeng Sarie, Desa Ngassem, Desa Djejer Songo terus ke arah Waru Gunung.
“Sejak awal dibangun jalan tembus itu, Gubernur Hindia Belanda tidak pernah menamai dengan nama jalan Deandles atau nama Belanda lainnya. Ya tetap Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari. Keren kaaan....,” tulis Kuncarsono pada 9 Maret 2018 dalam fanspage @suroboyombois, dikutip Jatimnet.com, Minggu 3 Februari 2019.
BACA JUGA: Perubahan Nama Jalan Bentuk Penghapusan Sejarah
Menurutnya sudah ada sebelum jalan itu dibangun. Konon di Dinoyo ada makam keramat yang disebut Mbah Cagak Joyo Prawiro Dinoyo, yang diyakini perwira perang masa akhir kerajaan Majapahit. Masih satu rangkaian dengan sejarah Sunan Bungkul yang makamya ada di Taman Bungkul. Kuncar mengakui ini adalah kisah dari mulut ke mulut yang diyakini masyarakat, tidak ada literasi yang menguatkan kisah itu.
Di masa perang 10 November, nama Dinoyo juga dikenal heroik. Menurut penuturan sejarahwan Pieter A Rohi, 21 November 1945 Agen Polisi F. Nainggolan dengan berani menurunkan bendera Jepang dan diganti dengan bendera merah putih. Hal ini membuat Jepang marah dan bentrok sengit dengan arek Dinoyo yang mempertahankan bendera ini.
Di Gunungsari, heroisme tak kalah menyalak. Daerah ini menjadi pertahanan terakhir pasukan republik. Melalui jalan Gunungsarilah, Sekutu meringsek ke barat. Semua yakin jika Gunungsari jatuh, maka jatuhlah Surabaya. Ini tempat penentuan.
Puncaknya perang sengit pada 28 November 1945, rakyat menyerbu dari bukit-bukti yang sekarang menjadi Yani Golf. Mereka menghadang konvoi pasukan dari Wonokromo melewati Jalan Gunungsari.
Kuncar mengatakan dari peta lawas yang dimilikinya, banyak nama desa yang punah. Namun ada yang tetap bertahan. Di antaranya Jalan Gunungsari dan Jalan DinoyO. “Nah kalau sekarang nama jalan legendaris ini akan diganti justru oleh gubernur sekarang, meskipun hanya sebagian ruas saja, tetap saja mengaburkan sejarah hebat republik ini,” pungkasnya.