Senin, 30 December 2019 03:04 UTC
DITEKAN. Salah satu kegiatan bongkar muat impor kedelai di Terminal Jamrud Tanjung Perak. Pemprov Jatim mendorong terciptanya bahan baku penolong guna mengurangi ketergantungan impor untuk memperbaiki neraca perdagangan. Foto: Dok Jatimnet.com
JATIMNET.COM, Surabaya – Pemprov Jawa Timur berharap bisa mengurangi ketergantungan impor setelah sepanjang Januari-November melambat 9,4 persen. Catatan tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan impor tahun 2018 yang mencapai 15,3 persen.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, penurunan impor terjadi pada komoditas migas maupun non migas. Dampaknya, menurut data BPS Jatim, neraca perdagangan pada Januari-November 2019 di kisaran 2,73 miliar dolar AS.
Meski impor turun, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengakui hal itu belum mengurangi current account deficit atau defisit transaksi berjalan ekspor-impor Jatim.
“Penurunan impor ini menjadi perhatian presiden. Impor dikurangi, atau subtitusi industri impor yang perlu ditingkatkan,” ujar Khofifah di sela refleksi akhir tahun 2019 di Kantor Gubernur Jawa Timur Jalan Pahlawan, Minggu 29 Desember 2019 petang.
BACA JUGA: Tingginya Impor Gandum Pengaruhi Neraca Perdagangan Jatim
Pemerintah, kata Khofifah, tengah berupaya menekan impor. Caranya dengan menciptakan industri pengganti barang bahan baku. Hal itu sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menyeimbangkan neraca perdagangan.
Mantan menteri sosial itupun optimistis, defisit neraca perdagangan Jatim bisa terus ditekan dengan kehadiran beberapa kilang minyak yang akan dibangun di Jawa Timur.
“Misalnya di Tuban (kilang minyak) bisa berjalan, kami berharap bisa menambah industri subtitusi Pemprov Jatim,” ungkapnya.
Di tempat sama, Kepala Kantor Wilayah Bank Indonesia Jawa Timur Difi Ahmad Johansyah mengatakan penurunan impor Jatim disebabkan korporasi yang menahan pengiriman barang ke dalam negeri.
Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa bersama Kepala Perwakilan BI Jatim, Difi Ahmad Johansyah (kiri). Foto: Dok Jatimnet.com
Hal ini selaras dengan data BI yang menyebut pertumbuhan kredit korporasi melambat. “Memang bisnis korporasi melambat, itu berpengaruh pada impor,” kata Difi, sapaannya.
Menurut laporan tahunan Bank Indonesia, pertumbuhan kredit korporasi pada perbankan di Jatim pada triwulan III/2019 tercatat hanya lima persen, atau lebih rendah dari triwulan II/2019 yang mencatat 10,4 persen.
Melambatnya pertumbuhan kredit korporasi ini paling utama disebabkan kredit modal kerja (KMK) yang melambat dari triwulan pertama. Pada triwulan III/2019 pertumbuhan KMK hanya 10,8 persen, atau ebih rendah dari triwulan I/2019 yang mampu membukukan 14,1 persen.
BACA JUGA: Kunjungan Wisatawan Asing Belum Membaik Sepanjang Tahun 2019
Perlambatan KMK korporasi didorong sektor industri pengolahan, antara lain sub sektor industri percetakan (dari tumbuh 18,9 persen-yoy menjadi 11,1 persen, yoy).
Kemudian industri pengolahan makanan, yakni industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan (dari tumbuh -8,9 persen yoy, menjadi 15,4 persen yoy) dan industri pengolahan, pengawetan buah-buahan dan sayuran (dari tumbuh 28,5 persen yoy menjadi -0,1 persen yoy).
Hal ini sejalan dengan penurunan permintaan akibat berlalunya momen Ramadan dan Idul Fitri serta berakhirnya kegiatan pemilu.
Selain itu, perlambatan KMK korporasi sektor perdagangan besar dan eceran juga melambat. Penyebabnya adalah sub sektor perdagangan dalam negeri makanan, minuman dan tembakau (dari 31,2 persen yoy pada triwulan II/2019 menjadi 19,3 persen yoy). Hal ini sejalan dengan deselerasi penyaluran kredit di sektor industri pengolahan makanan dan minuman.
