Logo

Tahan BI Rate untuk Stabilisasi Rupiah

Reporter:

Sabtu, 23 February 2019 22:50 UTC

Tahan BI Rate untuk Stabilisasi Rupiah

no image available

JATIMNET.COM, Jakarta – Rektor Perbanas Institute Hermanto Siregar menilai keputusan bank sentral menahan suku bunga acuan sebesar enam persen bertujuan guna menjaga stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

“Suku bunga belum bisa diturunkan, karena nilai tukar rupiah masih perlu dijaga kestabilannya,” kata Hermanto, Sabtu 23 Februari 2019.

Dia mengatakan keputusan tersebut sangat tepat dalam situasi Bank Sentral AS (The Fed) belum akan menyesuaikan suku bunga acuan.

Terkait kebijakan untuk melonggarkan likuiditas, ia menambahkan, Bank Indonesia (BI) bisa memulai upaya untuk menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan.

BACA JUGA: Rupiah Menguat, Harga BBM Turun

Ia juga memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan akan membaik pada semester I-2019 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di atas lima persen.

“Kalaupun GWM tidak diturunkan, kredit perbankan saya perkirakan akan meningkat di penghujung kuartal satu maupun pada kuartal dua,” kata Hermanto.

Sebelumnya, BI untuk keempat-kalinya secara berturut-turut mempertahankan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar enam persen, berdasarkan hasil rapat dewan gubernur periode 20-21 Februari 2019.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan kembali dipertahankannya suku bunga acuan pada Februari 2019 ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan dan mempertahankan daya tarik instrumen keuangan domestik.

BACA JUGA: Rupiah Menguat Tapi Belum Stabil

Dengan suku bunga acuan yang tetap, suku bunga simpanan fasilitas deposit bank di BI (depocit facility) tetap 5,25 persen, dan fasilitas penyediaan likuiditas bagi bank (lending facility) tetap 6,75 persen.

Sebagai catatan, pada 2019 BI memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk menurunkan defisit transaksi berjalan hingga 2,5 persen dari PDB, dari defisit transaksi berjalan di 2018 yang sebesar 2,98 persen PDB.

Penurunan defisit transaksi berjalan memerlukan upaya keras mengingat tengah masih tingginya laju impor, termasuk impor untuk memenuhi permintaan minyak dan gas. (ant).