Minggu, 27 January 2019 06:55 UTC
no image available
JATIMNET.COM, Surabaya – Beberapa hari terakhir publik dihebohkan dengan beredarnya Tabloid Indonesia Barokah di beberapa daerah Jawa Timur. Bawaslu Jatim menginstruksikan kepada Bawaslu di daerah untuk menahan peredaran tabloid yang dialamatkan ke masjid-masjid dan pondok pesantren.
Langkah Bawaslu tersebut merespons laporan masyarakat karena kontennya dinilai provokatif. Apalagi, saat ini sedang dalam masa kampanye sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ada tiga bentuk kampanye yang biasa diterima masyarakat ketika musim pemilu atau pilpres. Kampanye positif, kampanye negatif, dan kampanye hitam. Lalu apa bedanya?
Pakar Politik Untag Agus Sukristyanto mengatakan, kampanye positif pastinya mengungkapkan program dan menepatinya jika sudah menjabat.
“Kampanye hitam dan negatif ini yang berbeda,” kata Pakar Politik Untag Agus Sukristyanto saat diwawancarai di Gedung FISIP Untag, Sabtu 26 Januari 2019.
BACA JUGA: Yang Tak Dapat Berkah dari Indonesia Barokah
Menurut Agus, pada dasarnya kedua kampanye tersebut memuat unsur negatif, akan tetapi yang membedakan adalah isinya, fakta atau bukan. Selain itu, kampanye negatif masih ditoleransi, sedangkan kampanye hitam tidak.
Agus mengungkapkan kampanye hitam tidak mengungkap suatu kebenaran akan tetapi mencari-cari unsur negatif tanpa adanya fakta untuk menjatuhkan seperti unsur provokasi.
Sedangkan kampanye negatif itu melihat sisi kekurangan calon lawan atau perbedaan pendapat antar lawan sesuai dengan fakta di lapangan.
Ia melanjutkan, kampanye hitam tidak bisa ditoleransi di Indonesia karena bisa menimbulkan konflik di masyarakat, seperti berkurangnya rasa toleransi antar umat beragama.
“Untuk meminimalisir beredarnya kampanye hitam tersebut, pengawas harus bisa bertindak dengan tegas,” ujarnya.
BACA JUGA: Seratus Ribu Muslimat NU Deklarasi Anti Hoaks
Selain itu dalam proses demokrasi, kata Agus, peran partai politik juga sangat penting sebagai kontrol sosial dalam masyarakat agar tidak terjadi pergesekan antara satu dengan yang lain. Misalnya dengan memberi pendidikan politik dan informasi yang sebenarnya.
Menurut Agus, bagi masyarakat yang belum melek politik, mudah terprovokasi dengan bentuk kampanye hitam sehingga peran parpol dalam memberikan pendidikan politik sangat vital.
Sementara itu, pakar politik Unair Aribowo saat diwawancarai secara terpisah mengungkapkan bahwa, kampanye hitam cenderung mengarah pada ungkapan fitnah. Beberapa Negara demokrasi seperti Eropa, Amerika, kampanye hitam masih ditoleransi tetapi pada batas-batas tertentu, sedangkan di Indonesia dianggap sebagai ujaran kebencian.
“Jadi langsung diambil ekstremnya ke ujaran kebencian dan menjadi kesalahan yang fatal,” tambahnya.
Padahal kampanye hitam tidak selalu berisi tentang ujaran kebencian, tetapi lebih mengarah pada perdebatan-perdebatan antar paslon maupun dalam masyarakat.
BACA JUGA: Ipin Akui Terima Saran, Masukan dan Bisikan
Menurutnya jika terjadi perdebatan menjadi hal yang biasa, karena Negara Indonesia merupakan negara demokrasi. Selama ini pun perdebatan yang terjadi tidak menimbulkan kontak fisik antar individu melainkan ramai dalam dunia maya.
“Namun, batas toleransi pemerintah itu yang repot. Ada tebang pilih untuk menindaklanjuti kasus ujaran kebencian,” kata Aribowo.
Hal tersebut dapat menimbulkan ketimpangan sosial karena dianggap tidak adil, dan juga diskriminatif. Ini malah menjadi ketegangan baru, padahal seharusnya hal-hal seperti itu bisa ditoleransi.
“Namanya politik, konflik itu biasa asal jangan fisik. Kalau tidak ada perdebatan kuat dan kompetisi ya sudah itu bukan demokrasi namanya,” tutupnya.