Jumat, 25 January 2019 01:34 UTC
Ketua Asosiasi Petani Buah Naga Banyuwangi, Rukiyan. Foto: Ahmad Suudi
JATIMNET.COM, Banyuwangi - Budidaya pertanian buah naga organik berhasil menyelamatkan para petaninya dari kerugian saat harga jatuh.
Ketua Asosiasi Petani Buah Naga Banyuwangi, Rukiyan mengatakan harga buah naga organik cenderung 2 kali lipat daripada yang non organik. Padahal, biaya perawatan ladang organik separuh dari ladang buah non organik.
Ia menjelaskan per satu hektare ladang buah naga menghasilkan 24 ton setiap musim panen, yakni bulan November hingga Maret tahun berikutnya. Ketika harga non organik grade A berada di titik terendah Rp 2 ribu per kilogram, naga organik masih tetap di harga Rp 7 ribu per kilogram.
"Biaya pengeluaran budidaya pertanian organik lebih rendah. Namun penghasilan petani jadi lebih besar," kata Rukiyan, Kamis 24 Januari 2019.
Biaya yang harus dikeluarkan petani buah naga untuk mengolah ladang non organik, kata Rukiyan, mencapai Rp 10 juta sekali musim panen. Sedangkan ladang buah naga yang mengandalkan pupuk dan perangsang pertumbuhan organik membutuhkan biaya pengolahan Rp 5 juta per musim.
Kelompok petani buah naga Pucangsari yang ia pimpin, menggunakan fermentasi berbagai bahan hayati yang mudah ditemukan di lingkungan desa, sebagai obat organik tanaman. Rebung memberi efek perangsang pertumbuhan, leri atau air bekas cuci beras dan bonggol pisang yang mengandung sitokinin untuk perangsang tunas, dan tauge yang mengandung auxin untuk perangsang akar.
BACA JUGA: Harga Buah Naga Tergelincir akibat Panen Melimpah
Hasil fermentasi semua bahan dicampur air dan disiramkan ke gundukan kotoran kambing di bawah pohon buah naga yang menjadi pupuk organik. Ia juga menggunakan Bubur California yakni campuran air, belerang dan kapur gamping, yang disemprotkan ke tanaman untuk mengendalikan penyakit cacar pada buah naga.
"Kendalanya, kami masih kekurangan petani organik. Harapannya agar semakin banyak yang membudidayakan pertanian buah naga organik," katanya.
Dari 1.322 hektare ladang buah naga di Banyuwangi, masih 3 hektare di Kecamatan Sempu dan Kecamatan Pesanggaran, yang merupakan lahan organik. Ia mengatakan rata-rata petani enggan pindah ke organik karena khawatir gagal, menghindari kesan jorok pakai kotoran hewan, hingga ingin yang instant dengan pupuk urea.
Sugeng, salah satu anggota kelompok tani Pucangsari mengatakan dengan menanam buah naga organik, saat panen dia berani mematok harga di hadapan pengepul. Meski awalnya sekitar 5 buah yang dihasilkan setiap tegakan pohon, pada tahun kedua produksi, setiap tegakan menghasilkan hingga 20 kilogram selama musim panen.
"Organik punya daya tawar pada harga. Selain itu biaya pengelolaan ladang lebih murah, jadi saat harga turun masih untung," ujar Sugeng.