Rabu, 19 August 2020 23:00 UTC
PETANI: Salah satu seorang petani saat memupuk tanaman padi. Foto: Gayuh/ Dokumen
JATIMNET.COM, Mojokerto - Pupuk subsidi jenis urea di tengah masyarakat alami kelangkaan saat memasuki musim tanam kedua. Kelangkaan ini membuat biaya yang harus dikeluarkan petani terancam membengkak, dan mereka terpaksa membeli pupuk nonsubsidi.
Suryanto (53) salah satu petani di Desa Pacet, Kabupaten Mojokerto mengakui hal itu, bahwa di daerahnya mengalami kelangkaan pupuk subsidi jenis Urea dan ZA (Amonium Sulfat). Kelangkaan pupuk subsidi terjadi setiap tahun. "Pupuk subsidi urea maupun jenis ZA di sini kurang bahkan sudah tidak ada semenjak satu bulan," katanya, Rabu, 19 Agustus 2020.
Petani bawang merah Pacet ini menjelaskan, akibat kelangkaan pupuk ini petani terancam menanggung biaya produksi tanam, khususnya pada biaya pupuk yang semakin membengkak. Karena harga pukuk non subsidi harganya dua kali lipat lebih mahal dari pupuk subsidi.
"Minimal kebutuhan pupuk dalam satu kali tanam itu kurang lebih sekitar 5 ton dan kalau satu tahun sekitar 10 ton sampai 15 ton pupuk," ujar petani yang menanam sayuran seperti bawang merah, cabai, bawang merah, tomat dan lainnya di lahan seluas sekitar 2 hektare.
BACA JUGA: Petani Tembakau Probolinggo "Menjerit" Stok Pupuk Subsidi Sulit Dibeli
Suryanto mengungkapkan, lebih memilih menggunakan pupuk subsidi karena untuk memperkecil biaya operasional tanam sehingga dapat menekan harga jual produk pertanian tersebut.
Apabila menggunakan pupuk non subsidi belum pasti mendapat untung lantaran kondisi harga produk pertanian tidak stabil di pasaran. "Biaya pemupukan menjadi membengkak sekitar Rp 3 juta untuk lahan satu hektare kalau dua hektare sekitar Rp 6 juta," imbuhnya.
Sementara, Kepala Dinas Pertanian (Disperta) Kabupaten Mojokerto, Teguh Gunarko, menyebutkan, kelangkaan terjadi pada pupuk urea dikarenakan kebutuhan di 18 Kecamatan di Kabupaten Mojokerto sebesar 28.920 ton tidak terealisasi sepenuhnya.
Alokasi yang diberikan sesuai SK Dinas Pertanian Provinsi selama setahun ini dianggap jomplang dari Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (E-RDKK) di Mojokerto.
BACA JUGA: Petrokimia Jamin Distribusi Pupuk Bersubsidi Lancar Saat Penerapan PSBB
Tercatat realisasi pupuk pada musim tanam kedua ini hanya mencapai kuota atau alokasi dari pusat sebanyak 19.503 ton pupuk urea atau 57,44 persen saja dari nominal seharusnya 28.920 ton.
"Jadi yang sudah realisasi atau disalurkan sebanyak 18.727 ton, atau 96 persen (sudah di distribusikan) untuk pupuk urea di 18 Kecamatan dari 19.503 ton yang diterima," ia memaparkan.
Ia mengatakan, kelangkaan pupuk subsisi jenis urea ini memang sedang terjadi di tengah proses tanam kedua. Menurutnya, kelangkaan ini memang tak lepas dari alokasi dari Pemprov yang tak sebanding dengan kebutuhan di Kabupaten Mojokerto dengan 18 kecamatan.
"Jadi, hanya sekitar 69 persen dari kebutuhan di Mojokerto. Artinya, dari plot alokasi ini saja sudah terjadi kekurangan sampai 31 persen. Akibatnya, berakibat pada kelangkaan selama kurang lebih satu bulan," paparnya.
BACA JUGA: Alokasi Pupuk Subsidi di Ponorogo pada 2020 Berkurang 54,2 Persen
Disebutnya, pembatasan plot pupuk terhadap petani di setiap daerah oleh pemerintah pusat yang dituangkan dalam SK Dinas Pertanian Provinsi Jatim menjadi faktor utama kelangkaan terjadi di tengah masyarakat.
Tak ayal pihaknya harus melakukan solusi cepat atau sosialisasi kepada masyarakat dengan pilihan membeli pupuk non subsidi yang disediakan perusahaan, yaitu Petrokimia Gresik.
"Dikios-kios ada tapi sangat minim sekali, untuk menjaga itu kita sandingkan dengan non subsidi. Pupuk subsidi khusus di area Mojokerto tidak bisa dijual ke daerah. Pihak Petrokimia tidak berani memberikan suplai kepada petani di luar dari SK tersebut," ujarnya.
Belum lagi, dalam implementasi di lapangan, tak jarang penggunaan yang dilakukan petani overload. Dari luas tanam 1 hektare, tak sedikit petani yang memakai pupuk urea lebih dari tiga kuintal sesuai yang ditentukan pemerintah.
BACA JUGA: Pemprov Pastikan Tidak Ada Kelangkaan Pupuk Bersubsidi
Kelangkaan pupuk ini, lanjut Gunarko, secara otomatis memang akan membuat petani kelimpungan. Selain saat ini sedang masa tanam kedua berupa tanaman palawija, harga pupuk nonsubsisi juga cukup tinggi.
Dua kali lipat dibandingkan pupuk bersubsidi. Yakni, capai Rp 300 per sak dengan kapasitas berat 50 kilogram. Sedangkan untuk pupuk subsidi hanya Rp 105 ribu per sak.
Sehingga, sebagai solusi, agar tidak sampai gagal panen, petani harus beli pupuk nonsubsidi yang stoknya tersedia di setiap kios pupuk. "Tapi memang harganya tinggi sampai Rp 200-300 ribu. Dan itu cukup memberatkan petani. Imbasnya akan terjadi pembengkakan biaya produksi," tegasnya.
