Selasa, 04 August 2020 05:40 UTC
SIMULASI. Simulasi tatap muka proses belajar mengajar di SMPN 15 Surabaya yang diperankan para guru, Senin, 3 Agustus 2020. Foto: Dokumen
JATIMNET.COM, Surabaya - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berencana akan menggelar sekolah tatap muka. Hal itu mendapat respon dari ahli epidemiologi, bahwa perlu dipertimbangkan lagi. Mengingat Surabaya masih belum aman dari ancaman Covid-19. Status kota pahlawan berada di zona merah.
"Kriteria WHO dan Bappenas, tingkat penularan yang simbolnya RT (Rate of Transmission) harus di bawah satu selama 14 hari berturut-turut," kata Pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) dr. Windhu Purnomo Selasa 4 Agustus 2020.
Surabaya, kata dia, belum berada di tataran itu. Angka rate of Transmission atau tingkat penularan Covid-19 masih fluktuatif. Selain itu, menurut Windhu, penambahan pasien baru per harinya terbilang tinggi.
Pun dengan tingkat kematian akibat Covid-19 di Surabaya juga terbilang tinggi. "Surabaya masih tinggi, 8,9 persen, padahal nasional kurang 4,5 persen. Sedangkan WHO targetnya 2 persen. Jadi tingkat keamanan Surabaya masih jauh," terangnya.
BACA JUGA: 21 SMPN di Surabaya Direncanakan Mulai Sekolah Tatap Muka
Apabila proses belajar mengajar tatap muka harus dilakukan, Windhu meminta Pemkot memperhatikan aktivitas peserta didik mulai dari berangkat hingga pulang sekolah. Baik yang diantar orang tua maupun naik kendaraan umum. "Berangkat dari rumah menuju sekolah itu pasti ada yang naik transportasi umum dan itu berisiko tinggi karena sering kali jaga jarak dilanggar," bebernya.
Sepulang sekolah, juga tidak ada yang bisa menjamin peserta didik tidak terlebih dahulu keluyuran. Karena menurutnya tidak mungkin Pemkot Surabaya mengawasi setiap peserta didik mulai berangkat hingga siswa kembali ke rumah.
Windhu mengingatkan, Satgas Covid-19 pusat pun telah menetapkan, ketika daerah sudah masuk zona hijau Covid-19 pun, yang dibuka terlebih dahulu adalah SMA. "Ini saya setuju karena siswa SMA lebih dewasa untuk kepatuhan protokol kesehatan. Kalau SMA setelah dievaluasi bagus baru SMP, lanjut SD," terangnya.
Sebelumnya Pemkot Surabaya melalui Dinas Pendidikan (Dispendik) berencana memulai Proses Belajar Mengajar (PBM) di sekolah bagi siswa jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada tahap awal, akan dimulai di 21 SMP, baik itu swasta maupun negeri yang mewakili 5 wilayah sekolah di Surabaya, sebagai pilot project.
BACA JUGA: Terkendala Internet, Proses Belajar di Enam Pulau Sumenep Tetap Bertatap Muka
Sebelum PBM di sekolah tersebut dimulai, terlebih dahulu masing-masing sekolah itu melaksanakan simulasi proses belajar mengajar tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan. Simulasi digelar di dua sekolah negeri di Kota Pahlawan, yakni SMPN 15 dan SMPN 3 Surabaya. Simulasi yang berlangsung di kedua sekolah tersebut, diperankan oleh karyawan serta para guru.
Kepala Bidang Sekolah Menengah Dispendik Kota Surabaya, Sudarminto mengatakan, sebelum PBM di sekolah diputuskan, masing-masing sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project itu menyerahkan SOP (Standar Operasional Prosedur) protokol kesehatan. Selanjutnya, tim dari Dispendik melakukan monitoring kesiapan di lapangan dan dilanjutkan dengan simulasi protokol kesehatan.
“Simulasi itu memberikan gambaran ketika anak (peserta didik) mulai masuk ke sekolah, proses pembelajaran di sekolah, hingga pulang ke rumah,” kata Sudarminto di sela simulasi PBM di SMPN 15 Surabaya.
Sudarminto menjelaskan gambaran proses belajar mengajar dengan menerapkan protokol kesehatan. Pertama, sebelum masuk gerbang sekolah peserta didik wajib di cek suhu tubuhnya menggunakan pendeteksi suhu tubuh. Kemudian, mereka diarahkan petugas untuk cuci tangan dengan sabun dan masuk antrean ke bilik disinfektan.
“Sebelum anak-anak mengikuti action materi pelajaran itu sendiri, maka yang dilakukan guru adalah mengingatkan protokol kesehatan terlebih dahulu baru dilakukan pembelajaran,” ujarnya.
BACA JUGA: Di Tengah Pandemi Covid-19, Tahun Ajaran Baru Tidak Harus Tatap Muka
Menurutnya, SOP protokol kesehatan tak hanya diterapkan saat peserta didik mengikuti PBM di kelas. SOP juga telah dirancang ketika peserta didik ingin ke toilet atau melakukan aktivitas lain. “Bahkan ketika mereka peserta didik pulang sekolah juga di-SOP-kan,” kata dia.
Sudarminto menyebut, ketika PBM di sekolah itu berjalan, kapasitas jumlah peserta didik setiap kelas beserta jam pelajaran juga dikurangi. Terlebih lagi, pihaknya juga mengimbau pihak sekolah agar mengutamakan mata pelajaran yang dinilai esensial.
“Tidak harus seluruh mata pelajaran, dan jam pelajaran tidak harus 45 menit, bisa 25 menit. Kemudian yang masuk (peserta didik) tidak perlu 100 persen, mungkin bisa 25 persen atau 50 persen tergantung kesiapan sarana prasarana sekolah,” kata dia.
Selain itu, pihak sekolah juga wajib memberlakukan protokol ketat bagi warga yang masuk ke lingkungan sekolah. Tak hanya bagi peserta didik, guru maupun karyawan yang memiliki penyakit penyerta dilarang masuk ke sekolah. Hal ini semata-mata untuk mengantisipasi terjadinya kasus Covid-19 di lingkungan sekolah.
“Jadi anak nanti yang punya penyakit bawaan ya tidak perlu masuk, termasuk orang tuanya tidak mengizinkan tidak perlu masuk. Faktornya banyak, jadi gurunya harus sehat, sekolahnya harus komplet protokolnya, anaknya juga harus sehat,” tandasnya.