Jumat, 31 August 2018 14:01 UTC
Ilustrasi. Grafis: Gilas Audi.
JATIMNET.COM, Surabaya – Pelemahan rupiah yang ditutup Rp 14.637 per dollar Amerika Serikat menggelisahkan Pemerintah Provinsi Jatim. Tentu pelemahan rupiah ini berdampak pada kenaikan ongkos produksi.
“Kenaikan dolar memang mengganggu perekonomian kita (Jatim) terutama pada ongkos produksi yang dihitung menggunakan dollar,” kata Gubernur Jatim Soekarwo, Jumat, 31 Agustus 2018.
Ia menjelaskan industri di Indonesia, termasuk Jawa Timur, bahan mayoritas bahan baku masih mengandalkan impor. Tentu ketergantungan terhadap impor memicu kenaikan ongkos produksi saat dollar naik. “Semalam (Kamis, 30 Agustus) dollar menembus Rp14.800 padahal dalam rancangan APBN per 1 dollar AS diasumsikan Rp 13.500. Ini membuat produk kita tidak kompetitif,” lanjutnya.
Sejauh ini Jatim lebih banyak mendatangkan produk dari Cina. Sementara kebijakan dari negeri Tirai Bambu itu mengurangi investasi di luar negeri dan fokus pada konstruksi dalam negeri.
Oleh karena itu, Jatim terus menggalakkan pengembangan industri agro dan agrobisnis untuk mengurangi ketergantungan pada bahan impor. “Kita perlu subtitusi bahan baku (impor). Pilihannya, adalah kita menggerakkan agroindustri dan agrobisnis, meski ada beberapa yang tak bisa diganti, seperti bahan pembuat pupuk,” katanya.
Dia menambahkan kualitas agroindustri Jatim tidak kalah bagus dengan bahan impor. Tak lupa dia juga menyatakan Jatim berniat memperluas captive market dari 20 persen menjadi 25 persen.
Dia optimistis strategi ini mampu menahan ketidakpastian perekonomian dunia saat ini. “Kalau Jatim tetap optimistis dengan cara ini keluar dari tekanan dollar. Tapi kalau Indonesia, saya tidak tahu,” ujarnya.

Sementara itu, data dari Bloomberg penutupan rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 14.750, sedangkan kurs tengah BI rupiah ditutup pada Rp 14.637 per dollar AS. Pelemahan ini merupakan yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir atau pasca krisis ekonomi Asia tahun 1998.
“Kinerja rupiah relatif lebih rendah dibanding dengan negara berkembang lainnya. Pembayaran eksternal Indonesia cukup lemah, terutama defisit transaksi berjalan,” ucap Prakash Sakpal, Ekonom ING Groep NV. Still yang berbasis di Singapura, sebagaimana ditulis Bloomberg, Jumat 31 Agustus 2018.
Bloomberg juga menulis negara-negara yang memiliki defisit akun berjalan besar, seperti Indonesia dan India, memiliki risiko mata uang dan obligasinya berada di bawah tekanan.
