Sabtu, 24 August 2019 02:06 UTC
Ilustrasi Pagoda di Myanmar. Foto: Unsplash
JATIMNET.COM, Surabaya – Tim pencari fakta Persatuan Bangsa-Bangsa di Myanmar mengatakan jika militer menggunakan perkosaan serta kekerasan seksual lainnya sebagai senjata dengan frekuensi yang sering. Temuan ini menggambarkan adanya budaya toleransi yang luas pada penghinaan.
Pada halaman 61 dalam laporan tersebut dikatakan jika militer Myanmar harus menghentikan praktik yang meneror etnis minoritas di berbagai bagian negara.
Ditemukan jika di Rakhine, daerah tempat tinggal etnis minorotas Muslim Rohingya, praktik melakukan kekerasan seksual ditemukan sangat luas selama “operasi pembersihan” di tahun 2017, Operasi yang menjadi faktor untuk menentukan jika Myanmar telah berniat melakukan genosida pada kelompok tersebut.
BACA JUGA: Flu Babi Tewaskan 54 Orang di Myanmar
“Komunitas internasional harus mencegah militer Myanmar untuk menyebabkan penderitaan dan kesakitan bagi seluruh individu dengan beragam gender di negara tersebut,” kata Pemimpin Misi Pencari Fakta, Marzuki Darusman, dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Anadolu, Aa.com, pada Sabtu 24 Agustus 2019.
Laporan tersebut disusun berdasarkan wawancara dengan ratusan penyintas dan saksi dalam operasi yang berlangsung di Rakhine, Kachin dan Shan. Laporan juga menegaskan jika penggunaan kekerasan seksual oleh militer bisa disebut sebagai “bagian dari strategi yang terencana untuk mengintimidasi, meneror, dan menghukum populasi sipil dan memaksa mereka untuk pergi,”.
“Misi menyimpulkan berdasarkan landasan logis jika tindakan itu adalah tindakan kriminal atas kemanusiaan, kejahatan perang, serta tindakan genosida terselubung dilengkapi dengan adanya niatan untuk melakukan genosida,” kata penulis dalam laporan yang berbahasa Inggris.
BACA JUGA: Negara Asia yang Memindahkan Ibu Kota
Laporan menuliskan jika perempuan dewasa dan anak-anak menjadi sasaran sebagian besar kekerasan. Militer yang dikenal sebagai Tatmadaw memukul, menyundut dengan rokok, melukai menggunakan pisau, memerkosa, dan menjadikan perempuan sebagai budak seksual di markas militer mereka.
Laki-laki dewasa dan anak-anak juga diperkosa, disiksa secara seksual, dan dipaksa untuk telanjang. PBB menggambarkan Rohingya sebagai penduduk yang paling ter persekusi di dunia, telah menghadapi ketakutan dan serangan sejak kekerasan komunal, dengan puluhan nyawa meninggal, pada tahun 2012.
Menurut Amnesty Internasional, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, sebagian besar perempuan, dan anak-anak, telah meninggalkan Myanmar dan menyeberang menuju Bangladesh, setelah Myanmar memaksa melakukan serangan pada minoritas Muslim di tahun 2017, mendorong jumlah pengungsi di Bangladesh mencapai 1,2 juta.
BACA JUGA: 37 Imigran Ditemukan Terdampar di Pantai Malaysia
Sejak 25 Agustus 2017, sedikitnya 24 ribu Muslim Rohingya telah dibunuh oleh pasukan militer Myanmar, menurut laporan Agensi Pembangungan Internasional Ontario (OIDA).