Rabu, 22 October 2025 03:35 UTC
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur, Agus Muttaqin. Foto: Dok pribadi
JATIMNET.COM, Jember - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan Jawa Timur menilai telah terjadi dugaan maladministrasi dalam penanganan awal kasus dugaan pemerkosaan terhadap SF (21), seorang mahasiswi asal Kecamatan Balung, Kabupaten Jember. Kelambanan aparat penegak hukum dan kurangnya respons pemerintah desa disebut menjadi faktor yang memperburuk situasi hingga pelaku berhasil melarikan diri.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur, Agus Muttaqin, menyatakan keprihatinannya atas sikap sejumlah pihak yang dinilai tidak serius sejak awal menangani kasus tersebut. Menurutnya, keterlambatan tindakan dari aparat kepolisian dan kelalaian pihak desa berpotensi melanggar hak-hak dasar korban.
BACA: Polisi Lambat, Kades di Jember Diduga Sarankan Korban Perkosaan Menikah dengan Pelaku
“Aparat desa terindikasi melakukan maladministrasi karena mengabaikan kewajiban untuk mendampingi warganya yang menjadi korban tindak pidana. Sementara pihak kepolisian diduga menunda penindakan secara berlarut-larut hingga pelaku melarikan diri. Karena itu, pelaku harus segera ditetapkan sebagai DPO,” ujar Agus Muttaqin saat dikonfirmasi tertulis pada Rabu, 22 Oktober 2025.
Merespon hal tersebut, Ombudsman akan mempertimbangkan langkah investigasi proaktif untuk menelusuri dugaan pelanggaran prosedur dalam layanan publik, khususnya pada tahap awal penanganan kasus. Ia juga menyoroti sikap kepala desa yang sempat menyarankan agar persoalan diselesaikan secara kekeluargaan, padahal langkah itu bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan secara informal atau kekeluargaan, apalagi jika ada relasi kuasa yang timpang. Cara seperti ini justru memperdalam trauma korban dan mengingkari prinsip perlindungan sebagaimana diatur dalam UU TPKS,” tegas alumnus Universitas Jember (Unej) ini.
BACA: Kompaks: Ucapan Menteri Nasaruddin Bisa Timbulkan Impunitas
Lebih lanjut, Ombudsman Jatim juga menyoroti fakta bahwa korban harus menanggung biaya visum et repertum secara mandiri di rumah sakit. Kondisi tersebut, kata Agus, menggambarkan lemahnya koordinasi antarinstansi dalam memberikan layanan terpadu bagi korban kekerasan seksual.
“Negara seharusnya hadir sejak awal, bukan absen. Jika visum, pendampingan psikologis, dan perlindungan dasar korban tidak terpenuhi, itu menunjukkan adanya kegagalan sistemik dalam pelayanan publik,” ujarnya.
Kasus dugaan pemerkosaan terhadap SF dilaporkan ke Polsek Balung pada 15 Oktober 2025. Namun, beberapa hari setelah laporan dibuat, belum ada tindakan nyata dari aparat. Pelaku berinisial SA (27), yang disebut masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kepala desa setempat, diketahui telah kabur.
BACA: Kemenag Didesak Konsisten Awasi Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan termasuk Pesantren
Saat ini, penanganan perkara telah diambil alih oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jember. Sejumlah organisasi masyarakat sipil, antara lain LBH IKA PMII Jember, Kopri PMII Jember, dan Fatayat NU Jember, turut memberikan pendampingan hukum kepada korban sekaligus mendesak agar proses penyelidikan berjalan cepat dan transparan.
Ombudsman Jawa Timur juga mengimbau masyarakat dan pendamping korban untuk segera melaporkan setiap bentuk pelanggaran prosedur atau kelalaian aparat dalam penanganan kasus. Setiap laporan yang masuk akan ditindaklanjuti melalui mekanisme pemeriksaan dan klarifikasi terhadap instansi terkait.