Logo

NU Minta PMK Penyederhanaan Hasil Tembakau Dicabut

Reporter:

Jumat, 12 October 2018 10:25 UTC

NU Minta PMK Penyederhanaan Hasil Tembakau Dicabut

Jutaan petani tembakau diperkirakan akan semakin tertekan seiring penerapan PMK No.146/2017. FOTO: DOK.

JATIMNET.COM, Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) meminta pemerintah segera mencabut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 tahun 2017 tentang Penyederhanaan Struktur Cukai Hasil Tembakau.

Permintaan itu tidak lepas dari banyaknya warga NU yang menjadi petani tembakau. Selain itu, penerapan aturan tersebut bisa mematikan industri kecil dan menengah, sekaligus petani tembakau.

BACA JUGA : Pemerintah Berupaya Kurangi Produk Hasil Tembakau

“Naiknya cukai akan memukul industri rokok dan petani, yang selama ini menjadi pemasok terbesar industri. Selain itu, pendapatan petani akan semakin tertekan. Terutama bagi warga NU yang jumlahnya mencapai 6 juta petani,” kata Wakil Ketua PB NU, Maksum Machfoed, Antara Jumat 12 Oktober 2018.

Berdasarkan kajian yang selama ini dilakukan, diperoleh data volume produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menunjukkan potensi peningkatan seiring meningkatnya tarif cukai.

BACA JUGA : Pemkab Optimistis Tembakau Terserap Industri

Perlu juga disadari bahwa penyederhanaan struktur tarif cukai akan memperlambat volume industri. “Yang secara otomatis memperlambat pendapatan negara atas cukai industri hasil tembakau (IHT),” lanjut Maksum.

Kondisi tersebut berbanding dengan jenis sigaret kretek tangan (SKT) yang identik dengan para pengusaha kecil di bidang industri rokok. Sejauh ini SKT juga menunjukkan penurunan volume produksi yang semakin tajam, seiring semakin sederhananya struktur tarif cukai.

“Ironisnya lagi, jika PMK 146/2017 ini diterapkan, maka dipastikan akan menambah jumlah pengangguran pekerja SKT, yang berpotensi menjadi masalah sosial. Dampaknya bisa menjadi beban pemerintah,” katanya.

BACA JUGA : Krisis Air Menyulitkan Petani Tembakau di Probolinggo

Sementara itu, Dirjen PHI Kemenaker Hayani Rumondang berpendapat bahwa perubahan dari buruh menjadi mesin untuk mengejar tingkat efisiensi memberi keuntungan bagi perusahaan. Tapi di satu sisi tantangannya adalah PHK massal dan pelanggaran pembayaran upah.

Kasubdit IHT Kemenperin Satyati EW mengatakan total produksi dari 2011 sampai 2017 mengalami penurunan 5,5 persen per tahun, dengan jumlah produksi total 351,67 miliar batang di tahun 2014.

“Produksi ini terus menurun pada 2017 hanya tercapai 336,20 miliar batang atau turun 15,47 miliar batang dalam jangka waktu tiga tahun saja,” kata Satyati.