Minggu, 16 December 2018 06:12 UTC
Pendiri WatcDoc Dandhy D Laksono mengisi diskusi Jurnalisme dan HAM yang diselenggarakan AJI Surabaya di Warung Mbah Cokro, Sabtu 15 Desember 2018 malam.
JATIMNET.COM, Surabaya – Ada banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah masyarakat. Mulai dari perlawanan masyarakat Samin yang menolak pabrik Semen hingga kriminalisasi Jurnalis Zaki Amali.
"Ini menunjukkan bahwa kebebasan HAM baik untuk jurnalis maupun rakyat masih menjadi sebuah permasalahan besar di Indonesia," kata Dandhy D Laksono dalam diskusi Jurnalisme dan HAM yang diselenggarakan AJI Surabaya di Warung Mbah Cokro Surabaya, Sabtu 15 Desember 2018.
Pendiri WarchDoc ini mengungkapkan, HAM merupakan syarat hidup untuk berhak memilih apa yang dikehendaki setiap individu. Menurut dia, adanya ketimpangan HAM yang terjadi menyebabkan jurnalis harus berperang dengan cara bersikap dan memberitakan sebuah peristiwa.
Mulai dari memilih antara menjadi independen atau netral dalam melihat sebuah peristiwa. Namun dalam hal ini menjadi independen sangat diharuskan ketimbang menjadi netral.
Dandhy menyebut, jurnalis boleh tidak netral asalkan independen. Misalnya, dalam konflik si A, dan si B, ketika dapat feedback dari A kita beritakan kutipan A, jika dapat feedback dari B kita beritakan dan mendukung si B. “Nah, ini yang akan menjadi hambatan dalam menunjukkan kebenaran suatu peristiwa," tambahnya.
Berdasarkan hal tersebut seorang jurnalis harus mampu bertempur dan meneguhkan independensi dalam bersikap. Seorang jurnalis harus mengetahui side (fakta suatu peristiwa dengan membuktikan sendiri suatu peristiwa), dan untuk pendukung informasi berita bisa menggunakan bothside (seperti informasi dari pihak terkait dalam suatu peristiwa).
"Jadi jangan sampai kita menjadi jurnalis yang menulis berdasarkan cover bothside saja. Di mana kita hanya menulis dan menggabungkan omongan si A, dan omongan si B. Sebagai jurnalis, kita berhak dan harus membuktikan sendiri bagaimana peristiwa itu. Jangan sampai kita selalu menganggap benar setiap omongan si A maupun si B," kata Dandy.
BACA JUGA: Pemenjaraan Budi Pego Bukti Hukum yang Menindas
Terkadang masyarakat, bahkan jurnalis terjebak dengan peraturan/undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah atau manusia itu sendiri. Jika terjadi ketimpangan sosial, dengan menggunakan kunci (peraturan/uu) yang dianggap legal oleh pemerintah, seolah-olah seseorang yang bersuara dan memperjuangkan haknya menjadi pemberontak.
Lalu, apakah dengan "legal" tersebut, adanya relokasi, penggusuran dan masih banyak lagi keputusan pemerintah itu dibenarkan?. "Jadi, penegak hukum maupun pemerintah saat ini menutup mata dan menyalahgunakan suatu aturan. Saya menganggap bahwa peradilan di Indonesia ini sesat. Misalnya dalam kasus Budi Pego yang terjadi saat ini," tambahnya.
BACA JUGA: Jalan Panjang Budi Pego Mencari Keadilan
Peradilan dianggap sesat karena pengadilan mempermasalahkan kasus Budi Pego yang terjerat kasus hukum karena perjuangannya menolak pertambangan emas di Tumpang Pitu. Ia saat ini divonis empat tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
Menurutnya, keputusan tersebut merupakan peradilan yang sesat. Pertama, pengadilan tidak pernah membuktikan bahwa Budi Pego membawa bendera palu arit. Kedua, jika iya Budi Pego membawa bendera palu arit, tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Karena seperti yang sudah kita ketahui semua, bahwa Indonesia sudah 20 tahun reformasi dan komunis sudah dibubarkan.
"Sangat disayangkan jika komunis sudah lama dibubarkan, namun saat ini masih mempermasalahkan lambang palu arit yang dianggap komunisme. Saya rasa tuduhan ini dibuat-buat agar pertambangan tetap bisa dijalankan," tambahnya.