Minggu, 01 September 2019 11:18 UTC
TIDAK CUKUP: Lia Istifhama (tengah) mengakui hubungan darah dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menguntungkan tidak cukup untuk maju Pilwali Surabaya. Foto: IST.
JATIMNET.COM, Surabaya – Tokoh Surabaya yang masuk bursa calon wali kota pada Pilwali 2020 terus bertambah. Kali ini Lia Istifhama dimunculkan untuk menjadi suksesor Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini pada periode mendatang.
Ning Lia, sapaannya, disokong Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) untuk maju dalam pilkada serentak tahun depan. Selain itu, dukungan kepadanya juga mengalir secara spontan untuk maju dalam pilwali.
Namun beberapa pihak melihat Ning Lia hanya mengandalkan trah atau keturunan. Masalahnya dia masih keponakan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
BACA JUGA: Unesa Munculkan Calon Wali Kota Surabaya
Menanggapi hal tersebut, wanita kelahiran Surabaya itu mengatakan, dalam budaya ketimuran tak lepas dari bibit (keturunan), bebet (penampilan) dan bobot (kemampuan). Sehingga statusnya sebagai keponakan Khofifah Indar Parawansa adalah fakta yang menjadi modal sosial.
Dengan status itu, lebih mudah diterima di berbagai lapisan masyarakat. “Tapi saya juga beraktualisasi dengan masyarakat lewat organisasi dan bekerja keras untuk eksis di profesi yang saya geluti,” ujar Ning Lia saat dikonfirmasi, Minggu 1 September 2019.
Wanita asal Jemursari Surabaya itu masih aktif bersama Fatayat, badan otonom NU. Organisasi yang terbilang memiliki basis massa cukup besar dan dinilai dapat menjadi modal bagi Ning Lia.
Sementara itu, Peneliti Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam mengatakan, dalam beberapa Pilkada yang telah dilalui menyebutkan masyarakat masih melihat figur. Faktor sosiologis lebih dominan dibanding faktor rasional.
BACA JUGA: Pemimpin Milenial Berpotensi Menang di Pilwali 2020 Surabaya
“Masyarakat masih melihat figur dalam memilih calon pemimpin, terutama dalam pilkada. Pertimbangan fisik calon, gagah, cantik dan berwibawa masih dominan dipilih,” kata Surokim.
Menurutnya, rasionalitas pemilih memang sedang tumbuh, tapi persentase masih minim. Angkanya masih jauh dari ideal, yakni sekitar 38 persen untuk perkotaan. Padahal idealnya di kisaran 55 persen.
“Secara umum persentasenya lebih tinggi faktor sosiologis dan psikologis dibanding faktor rasional,” Surokim memungkasi.
