Logo

Kasus Sipoa Grup, Kuasa Hukum Terdakwa Menilai ada Pencurian Asset

Reporter:

Kamis, 01 November 2018 15:10 UTC

Kasus Sipoa Grup, Kuasa Hukum Terdakwa Menilai ada Pencurian Asset

Kedua terdakwa Budi Santoso dan Klemen Sukarno Candra saat di Pengadilan Negeri Surabaya.

JATIMNET.COM, Surabaya - Sidang kasus Sipoa Grup kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis, 1 November 2018.  Agendanya mendengarkan pembelaan terdakwa Budi Santoso dan Klemen Sukarno Candra di hadapan majelis hakim. 

Dalam pembelaan itu, mematahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang sebelumnya. Ketua Tim Kuasa Hukum Sipoa Grup Sabron D Pasaribu mengatakan, dalam sidang ini semakin terkuak  adanya fakta terjadi kriminalisasi dalam perkara ini berlatar belakang seperti terjadi pencurian asset perusahaan  PT. Bumi Samudra Jedine (Sipoa Group) senilai Rp800 milyar. 

Modusnya, kedua terdakwa  ditahan dan dipaksa menjual dengan harga hanya Rp.150 milyar kepada konsorsium beberapa orang yang dikenal sebagai mafia Surabaya. Semakin kental pula indikasi kedua terdakwa telah menjadi korban peradilan sesat. Dalam perkara ini juga terjadi error in pesona (keliru mengenai orang dimaksud melakukan perbuatan) dalam penetapan tersangka terhadap Budi Santoso dan Klemens Sukarno Candra. 

Menurut Sabron, SH, M. Hum, kasus pidana penipuan dan penggelapan yang menjadikan kedua kliennya menjadi terdakwa ini, sepanjang sejarah peradilan di Indonesia tergolong aneh dan langka. 

JPU mendakwa kedua terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan terhadap 73 orang konsumen apartemen Alfatar World yang menjadi pelapor dalam perkara ini, dengan nilai kerugian korban sebesar  Rp.12,5 milyar. 

Namun lucunya harta benda milik kedua terdakwa yang disita oleh penyidik nilainya mencapai Rp.800 milyar, berupa sebidang tanah dengan status HGB No. 71/Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoardjo, Luas 59.924 m2, berikut 2500 tiang pancang dan ijin-ijin yang telah diterbitkan, yang di atasnya akan dibangun  14 Tower Apartemen Royal Afatar World. 

Lazimnya dalam perkara penipuan dan penggelapan, nilai kerugian korban jauh lebih besar dari harta benda milik pelaku yang disita penyidik.  “Sejak awal kasus ini tak lebih merupakan sebuah modus perampokan asset yang dilakukan para mafia, dengan memakai tangan aparat penegak hukum. Penyidik dan Jaksa yang pesta lalu kini majelis hakim yang cuci piring kotornya” ujar Sabron.

Dia juga menyesalkan tidak dihadirkannya sembilan orang saksi penting di persidangan, termasuk saksi Yudi Hartanto, mantan Dirut PT. Bumi Samudra Jedine periode 2014-2015 yang mengeluarkan kebijakan keluarnya uang persero sebanyak Rp. 180 milyar, yang seharusnya duduk menjadi terdakwa dalam persidangan ini. "Akhirnya perkara ini seperti plesetan judul film: Terdakwa yang Tertukar” katanya.

Baron juga mengungkapkan, bukti-bukti yang dipakai JPU tidak memberikan gambaran adanya melawan hukum pidana yang didakwakan. Hubungan hukum yang terjadi antara PT. Bumi Samudra Jedine dengan pihak-pihak Pelapor adalah hubungan keperdataan, didasari dengan Surat Pesanan yang dilakukan dengan itikad baik, sebagai developer penyedia apartemen Royal Afatar Wolrd. 

Bahwa benar telah terjadinya keterlambatan dalam penyerahan unit antara PT. Bumi Samudra Jedine kepada pihak konsumen (pelapor) namun hal ini   bukan merupakan tindak pidana, melainkan suatu tindakan  wanpretasi sebagaimaa diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata mengenai Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu

Adanya peristiwa keterlambatan penyerahan unit, tidak berarti Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra berniat melakukan penipuan dan penggelapan,  dikarenakan PT Bumi Samudra Jedine selaku pengembang sudah memiliki ijin lokasi berdasarkan Putusan Bupati Sidoardjo Nomor 188/2/404.1.3.2/2014, sebidang tanah dengan status  HGB No. 71/Desa Kedungrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoardjo, Luas 59.924 m2.

Perihal tersebut, artinya atasnya akan dibangun Apartemen Royal Afatar World , IMB No. 142 Tahun 2015/Kabupaten Sidoardjo,  yang lengkap untuk membangun dari pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Undang-Undang  No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, dan telah dilakukan pemasangan tiang pancang sebanyak 2500 buah.

Di hadapan ketua majelis hakim para terdakwa menjelaskan secara runtut apa yang sejatinya terjadi dalam perkara ini. Seperti yang dikatakan Budi Santoso, sejak tahun 2013 hingga 2015, PT Bumi Samudra Jedine mengalami tiga kali perubahan direksi mulai dari Ir Klemens Sukarno Candra menjabat sebagai Direktur Utama pada 26  Juli 2013, berdasarkan Akte No. 135, hingga  tanggal 17 Februari 2014. 

Kemudian  Yudi Hartanto menjadi Dirut, berdasarkan Akte No.  30 tanggal 17 Februari 2014, hingga April 2015. Dan dari bulan April tahun 2015 hingga kini terdakwa Budi Santoso menduduki jabatan Dirut, berdasarkan Akte Berita Acara Rapat PT. Bumi Samudra Jedine Nomor: 75 RUPS, tanggal 27 April 2015. 

Menurut Budi Santoso, pada periode kepemimpinan Ir. Klemens Sukarno Chandra membukukan hasil penjualan unit sebesar Rp. 22,141,572,500,-. Pada periode Yudi Hartanto sebesar  Rp. 120,32,184,205.  Sedangkan pada periode Dirut Budi Santoso sebesar  Rp. 19.238.725.471.

Menurut Budi Santoso, kondisi persero sudah mengalami krisis liquiditas, pada saat dirinya ditetapkan sebagai Dirut PT. Bumi Samudra Jedine, berdasarkan Akte Berita Acara Rapat PT. Bumi Samudra Jedine Nomor: 75 RUPS, tanggal 27 April 2015. 

Krisis liquiditas inilah yang menjadi faktor penyebab terjadinya keterlambatan serah terima unit kepada konsumen apartemen Alfatar. “Kas PT. Bumi Samudra Jedine kosong ketika saya mulai menjabat Dirut. 

Penyebabnya, ada  kebijakan Dirut Yudi Hartanto pada tahun 2014-2015, yang melakukan pengeluaran uang besar-besaran hingga mencapai sebesar Rp. 180 milyar, dan mengalir ke Teguh Kinarto dan kawan-kawan. Di dalamnya mayoritas terdapat uang konsumen. 

Uang modal persero sebesar Rp. 20 milyar pula ikut terbawa keluar. Antara lain mengalir kepada: (1) Tee Teguh Kinarto dan Widjijono (PT. Solid Gold Prima) sebesar Rp. 60 milyar, (2) Widjijono Nurhadi sebesar Rp. 20,2 milyar, (3) Nurhadi Sunyoto sebesar    Rp. 10,38 milyar, (4) Harikono Soebagyo sebesar Rp. 41,140 milyar (5)  Miftahur Royan (LDII) sebesar Rp. 31,1 milyar”. Hal ini memaksa kami harus berjuang mencari investor baru “ujar Budi Santoso lagi.