Minggu, 27 September 2020 13:40 UTC
BARISTA. Jember Barista Fun Battle (JBFB) 2020 yang digelar di salah satu hotel di Jember, Sabtu-Minggu, 26-27 September 2020. Foto: Faizin Adi
JATIMNET.COM, Jember – Sebagai salah satu sentra penghasil kopi terbesar di Indonesia, tren profesi barista di kawasan Tapal Kuda, Jawa Timur, terus bergeliat. Hal ini antara lain nampak dalam ajang Jember Barista Fun Battle (JBFB) 2020 yang digelar di salah satu hotel di Jember, Sabtu-Minggu, 26-27 September 2020.
Salah satu di antara peserta yang tampak antusias unjuk kebolehan adalah Sugianto, seorang penyandang disabilitas.
“Sementara ini kendalanya adalah untuk merapikan meja, karena fisik. Saya juga tidak punya alat barista secara khusus di rumah, jadi harus cepat beradaptasi dengan peralatan yang disediakan panitia,” kata Sugianto.
Tak cuma fisik, Sugianto juga minim pengalaman. Pekerjaan sehari-harinya sebagai mekanik jasa perbaikan ponsel menjadikan kegiatan meracik kopi secara profesional sebagai hal baru bagi Sugianto.
Namun, keberhasilan rekannya sesama penyandang disabilitas, Dhafir, yang menjadi juara dua di even tahun lalu, membuat Sugianto semangat belajar autodidak sejak beberapa hari sebelum kompetisi.
BACA JUGA: Barista Kopi Indonesia Ikuti Kejuaraan Dunia di AS
Dhafir dan Sugianto selama ini aktif di komunitas Persatuan Penyandang Cacat (Perpenca) Jember. Dengan perubahan istilah cacat menjadi disabilitas, kepanjangan nama organisasi ini kemudian diubah menjadi Persatuan Penyandang Disabilitas dan Advokasi Jember.
“Karena di Jember ini banyak disabilitas yang jadi petani kopi, karena itu kami berharap ada di antaranya yang kemudian menjadi barista profesional,” ujar Sugianto.
Penyelenggara acara memang sengaja melibatkan disabilitas melalui organisasi Perpenca untuk ikut bersaing dalam kompetisi JBFB 2020.
“Di gelaran tahun lalu, juga ada dari Perpenca yang jadi juara, sehingga yang lebih penting di sini adalah passion dan kemauan. Sebab, skill untuk meracik kopi ini bisa dimiliki oleh siapa saja termasuk dari disabilitas,” kata General Manager Hotel Meotel Jember, Helman Dedy Choandra, yang menjadi penyelenggara kompetisi.
Memasuki pelaksanaan yang ketiga, kompetisi JBFB tahun ini digelar dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat. Selain steril, panitia juga membatasi jumlah peserta menjadi hampir seperempat dibanding kompetisi tahun lalu.
Dua kelas yang dipertandingkan secara bergantian di ajang JBFB 2020 ini adalah Manual Brewing dan Latte Art. Manual brewing merupakan teknik menyajikan kopi secara manual yang diadaptasi dari tradisi Jepang.
“Termasuk seni melipat kertas sebagai penyaring saringan kopi, itu merupakan adaptasi dari seni origami. Pada kelas ini, kriteria pemenangnya adalah harus bisa mengeluarkan cita rasa dari biji kopi,” kata Dedy.
Dalam kelas Manual Brewing, peserta akan menggunakan biji kopi yang sama. Selain teknik penyaringan, aspek lain yang berpengaruh pada hasil adalah suhu air yang digunakan.
BACA JUGA: Ngopi Sekaligus Belajar Manual Brewing di MoCa Banyuwangi
“Taste (rasa) kopi memang beda-beda, tergantung selera orang. Tetapi di sini yang kita tonjolkan adalah balancing (keseimbangan). Kita khan pakai biji arabika yang cenderung asam. Asam ini bisa menjadi rasa yang tepat, tidak terlalu asam, juga tidak terlalu pahit, tetapi ada flavour yang keluar. Bisa flavour dari coklat atau herbal dan sebagainya,” kata Dedy.
Sedangkan kelas Latte Art menuntut peserta untuk lebih menonjolkan seni penyajian tampilan kopi susu. “Kalau zaman dulu, orang menyajikan kopi Cappuccino yang penting ada busa dan taburan, tapi kalau sekarang teknik penyajian Cappucino bisa beragam, termasuk latte art. Sehingga ketika disajikan akan sangat menarik dengan berbagai macam gambar,” ujar Dedy.
Pada kelas latte art, kriteria penilaian ada aspek visualnya, antara lain berdasarkan tingkat kesulitan dan warna. “Latte art lebih ke teknik yang terbentuk melalui jam terbang berlatih dari si barista. Ini berbeda dibandingkan manual brew yang lebih dominan unsur passion,” ucap Dedy.