Senin, 15 November 2021 05:00 UTC
Pakar epidemiolog Unair, Muhammad Athoillah Isfandiari, Senin 15 November 2021. Foto: Faizin Adi
JATIMNET.COM, Jember – Jelang libur panjang natal dan tahun baru (nataru) dan antisipasi terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia, pemerintah harus memperketat pintu perbatasan dengan luar negeri. Hal ini sebagai antisipasi agar virus corona varian baru tidak lagi masuk ke Indonesia.
“Untuk menghindari terjadinya lonjakan kasus covid-19 di Indonesia, tergantung pada seberapa besar komitmen pemerintah kita untuk menjaga pintu perbatasan. Tidak hanya untuk Warga Negara Asing (WNA) yang akan masuk ke Indonesia, tetapi juga untuk WNI yang baru datang dari luar negeri, serta masyarakat yang akan bepergian di libur panjang akhir tahun,” kata epidemiolog Unair, Muhammad Athoillah Isfandiari, usai menghadiri sebuah diskusi kesehatan di Jember, Senin 15 November 2021.
Bentuk pengetatan itu, terutama pada kedisiplinan pemerintah untuk menerapkan protokol masa karantina kepada siapapun yang wajib menjalani karantina, tanpa pandang bulu.
“Misal, karantina yang seharusnya satu minggu, karena ada permainan tertentu, lalu diperpendek jadi 5 hari atau tidak usah karantina, wah sudah bablas (jebol) itu,” ujar pria yang juga Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair tersebut.
Baca Juga: Nataru di Masa Pandemi, Umat Katolik di Jember Diimbau Tetap Semangat dan Taat Prokes
Karantina harus diterapkan dengan disiplin, yakni selama 7 hari tanpa gejala. Selama beberapa pekan terakhir, kasus harian Covid-19 di Indonesia menunjukkan tren melandai. Namun Atoillah meminta pemerintah dan masyarakat tidak buru-buru euforia.
“Sekarang ini, melandai di Indonesia, belum tentu benar-benar melandai. Bisa jadi karena tidak terdeteksi, yang disebabkan tidak bergejala. Apalagi tingkat pengetesan harian di negara kita kan sedang turun,” papar Atoillah.
Jika tidak serius menjaga pintu perbatasannya, Indonesia bisa jadi mengalami lonjakan gelombang ketiga kasus harian Covid-19, seperti lonjakan yang terjadi pada sekitar Juli 2021 lalu.
Satu-satunya negara besar di dunia yang mengalami gelombang ketiga kasus Covid-19 menurut Atoillah adalah India. Hal itu terjadi ketika tingkat fatalitas kasus atau Case Fatality Rate (CFR) suatu negara melonjak.
Baca Juga: Dosis Terbatas, Warga Binaan Lapas Jember Divaksin Covid-19 Bertahap
“Sebenarnya, meski ada gelombang baru, asalkan CFR-nya tidak terlalu tinggi, itu masih akan sama seperti yang gelombang ketiga di Singapura dan Belanda. Tetapi kalau CRF-nya tingi, itu mengulang seperti yang kita alami di bulan Juli kemarin. Kalau di luar negeri, itu cuma terjadi di India,” kata epidemiolog berlatar belakang pendidikan dokter umum ini.
Meski saat ini, program vaksinasi terus digalakkan pemerintah, kemungkinan gelombang tiga melanda Indonesia masih terbuka. Yakni ketika covid-19 varian baru, berhasil masuk ke Indonesia.
“Kalau di Indonesia, varian (virus corona) hanya ada yang kemarin itu, maka bisa jadi hanya akan endemik. Ketika sudah terbentuk kekebalan (karena vaksin atau penyintas), maka hanya terjadi penularan (virus) diantara sebagian orang yang belum terbentuk kekebalannya. Yang jadi masalah, kalau ada varian baru, yang berhasil masuk ke Indonesia,” tutur Atoillah.
Peluang masuknya Covid-19 varian baru, sebelumnya juga sudah diwanti-wani oleh Menko Maritim dan Investasi sekaligus koordinator PPKM Jawa Bali, Luhut Binsar Pandjaitan. Saat ini, varian virus baru, yakni corona AY.4.2 atau varian Delta Plus, telah masuk ke sejumlah negara. Salah satunya adalah Malaysia yang memiliki banyak perbatasan dengan Indonesia, serta hubungan bilateral yang erat