Sabtu, 07 September 2019 05:42 UTC
Ilustrasi.
JATIMNET.COM, Surabaya – Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhan menyebut revisi UU KPK yang disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI, Kamis 5 September 2019 lalu sebagai upaya agar komisi anti rasuah itu menjadi lembaga yang tidak independen.
Kurnia mengatakan sejumlah bentukan badan baru dan keharusan koordinasi dengan aparat penegak hukum yang lain dalam menjalankan tugas dan fungsi KPK dalam agenda pemberantasan korupsi sebagai bentuk upaya pelemahan KPK secara institusional.
Ia mencatat kewajiban koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam hal penuntutan perkara, pembentukan Dewan Pengawas, serta larangan membuka kantor perwakilan menunjukkan KPK sudah tidak lagi independen.
BACA JUGA: Ini Pasal Paling Kontroversial dalam Revisi UU KPK Menurut ICW
“Dewan Pengawas ini adalah representasi dari pemerintah dan DPR yang ingin campur tangan dalam kelembagaan KPK. Sebab, mekanisme pembentukan Dewan Pengawas bermula dari usul presiden dengan membentuk panitia seleksi, lalu kemudian meminta persetujuan dari DPR,” ungkap Kurnia melalui rilis yang diterima Jatimnet.com, Sabtu 7 September 2019.
Kurnia menyebut, tugas Dewan Pengawas yang memberikan izin kepada penyidik KPK dalam melakukan fungsi penyadapan. Ia menyebut permintaan izin itu justru akan memperlambat penanganan tindak pidana korupsi dan bentuk intervensi atas penegakan hukum yang berjalan di KPK.
“Selama ini KPK dapat melakukan penyadapan tanpa izin dari pihak manapun dan faktanya hasil sadapan KPK menjadi bukti penting di muka persidangan untuk menindak pelaku korupsi,” jabarnya.
BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Jatim Curigai Pelemahan KPK dari Dalam
Selain itu, dalam revisi UU KPK yang baru, tugas penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, menurutnya malah menghambat percepatan penanganan sebuah perkara.
“Karena pada dasarnya KPK adalah sebuah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap,” jelasnya.
Disamping itu, penghapusan kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen menunjukkan upaya pelemahan di tubuh KPK.
Hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 yang menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik di luar dari institusi kepolisian atau kejaksaan.
BACA JUGA: Jubir KPK, Ketua YLBHI, dan Koordinator ICW, Dituduh Sebar Berita Bohong
“Secara spesifik MK menyebutkan bahwa praktik merekrut penyidik independen merupakan sebuah keniscayaan karena hal yang sama juga dilakukan oleh ICAC Hongkong dan CPIB Singapura. Penting untuk mencegah adanya loyalitas ganda ketika penyidik yang berasal dari insitusi lain bekerja di KPK,” sebutnya.
Upaya KPK untuk memperluas kerja KPK dan membuka peluang tokoh pemberantasan korupsi untuk masuk menjadi pimpinan KPK semakin dipersempit. Dalam pasal yang baru, disebutkan bahwa usia minimal untuk menjadi Pimpinan KPK adalah 50 tahun, lebih tinggi dari usia minimal sebelumnya yakni 40 tahun.
“Padahal dalam UU sebelumnya ditegaskan bahwa KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi,” tutupnya.
