Minggu, 04 June 2023 02:20 UTC
Para pekerja sedang menjemur kopi di tempat pengolahan kopi pokmas “Walida” Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo.
JATIMNET.COM, Situbondo – Masuknya kopi dari luar negeri mengancam petani kopi Indonesia. Pasalnya, harga kopi impor yang masuk Indonesia lebih murah dibandingkan kopi lokal. Saat ini, harga kopi lokal jenis Arabika Rp. 130 ribu per kilogramnya, sementara harga kopi impor Rp. 90 ribu.
“Ini kasusnya akan sama seperti kedelai impor. Akan banyak kedai kopi beralih beli kopi impor karena harganya murah,” kata Ahmad Muhlisin, pengusaha kopi Pomas “Walida”, Kecamatan Sumbermalang, Kabupaten Situbondo.
Menurut Muhlisin, Pemerintah harus mengendalikan masuknya kopi impor karena beresiko mengancam pengusaha kopi lokal. Pengendalian kopi impor bisa dilakukan dengan cara menaikan cukai kopi impor untuk melindungi kopi lokal.
“Saat ini banyak kopi impor masuk ke Indonesia dengan harga murah, seperti dari Brazil, Kolombia dan Thailand. Jadi harus dikendalikan untuk melindungi barang sendiri,” ujar pria lulusan IPB tersebut.
Baca Juga; Kopi Blooming Street Food, Ala Angkringan Harmoni di Kota Mojokerto Ini Patut Diincip
Dikatakan, harga kopi lokal mulai naik sejak akhir 2022. Saat itu pengusaha open harga kopi gelondongan yang baru dipetik Rp. 8000, namun saat panin harganya menjadi Rp. 16.000 per kilogramnya.
Pada 2023 panin harga kopi gelondongan start di harga Rp. 16.000, padahal untuk menghasilkan 1 kilogram kopi membutuhkan 7 kilogram kopi gelondongan dengan biaya Rp. 112 ribu belum termasuk biaya produksi.
“Saat ini harga kopi mentahan siap sangrai jenis Arabika Rp. 130 ribu/kg. Fenomena kenaikan harga kopi ini merata di seluruh Indonesia. Bagi petaninya pasti untung, tapi penjualnya yang agak repot. Diperparah lagi masuknya kopi impor yang harganya lebih murah,” tuturnya.
Muhlisin mengatakan, saat ini Pokmas Walida punya 450 petani kopi dengan luas lahan 1.600 hektar di kawasan lereng gunung Argopuro Sumbermalang. Produksi kopi setiap musimnya rata-rata sekitar 500 ton kopi gelondongan.
Baca Juga: Menariknya Kuliner di Mojokerto dengan Gaya Tropikal, Menu Kopi Jejakmu
Untuk tahun ini produksi kopi naik dua kali lipat antara 800 hingga 1000 ton. Sedangkan untuk penghasilan petani rata-rata Rp. 90 hingga 100 juta per musim. Dampak lain dibukanya industri kopi adalah serapan tenaga kerja.
Ada 300-350 orang ibu-ibu bekerja saat musim kopi. “Musim kopi berlangsung empat bulan dengan penyerapan tenaga kerja cukup banyak. Untuk tempat pengolahan seperti saya hanya bisa menyerap 20 hingga 30 orang tenaga kerja,” katanya.
Selama ini, lanjut Muhlisin, dirinya melayani penjualan kopi di dalam negeri dan ekspor ke luar negeri. Untuk pasar lokal di dalam negeri ada 560 kedai kopi yang sudah bermitra lima tahun lebih.
Baca Juga: Dua Mahasiswa UK Petra Kembangkan Limbah Ampas Kopi dan Plastik HDPE
Setiap bulannya, sebanyak 560 kedai kopi yang ada di kota-kota besar tersebut bisa menyerap rata-rata 3-4 ton. Omset kotor penjualan kopi bisa mencapai Rp. 300-400 juta setiap bulannya.
Selain itu, penjualan juga dilakukan melalui marketplace dengan pendapatan sekitar Rp. 50 juta setiap bulannya. “Untuk bulan Mei 2023 ini kami mengirim kopi di dalam negeri sekitar 7 ton baik untuk kedai kemitraan maupun marketplace. Kalau dihitung pendapatan kotornya sangat besar, tapi kalau sudah dipotong biaya modal akan tinggal sedikit,” ujar pria yang juga anggota DPRD Situbondo.
Lebih jauh Muhlisin mengatakan, selama ini pihaknya mengekspor kopi Arabika melalui pihak ketiga ke sejumlah negara, seperti Amerika, beberapa negara Eropa dan Timur Tengah. Setiap musim bisa mengekspor kopi 3-4 kontainer.
“Tahun ini terjadi pengurangan ekspor kopi karena masalah harga. Harga di petani naik dua kali lipat sementara harga kopi luar murah. Kopi Indonesia sebenarnya sudah bisa terserap di dalam negeri tanpa harus di ekspor,” pungkasnya.
