Sabtu, 05 October 2019 07:30 UTC
Ilustrasi. [pixabay]
JATIMNET.COM, Surabaya – Perlakuan terhadap sampah makanan yang tidak tepat ternyata bisa memicu perubahan iklim dengan keluarnya zat metana yang bisa merusak lapisan ozon.
Sebagian besar orang kadang asal membuang saja sampah makanan karena dianggap akan menjadi pupuk kompos. Tapi ternyata tidak semudah itu, semuanya harus melalui proses dan menggunakan bahan-bahan tertentu.
Akibatnya, The Economist tahun 2016-2017 menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara terbesar kedua setelah Arab Saudi yang menghasilkan food waste dan food loss di dunia.
BACA JUGA: Peneliti Temukan Kadar Plastik Beracun dalam Feses dan Urine
Food waste dapat mebahayakan lingkungan dan iklim karena menghasilkan karbondioksida (CO2) dan zat metana yang merusak lapisan ozon.
"Limbah makanan yang berada di tempat pembuangan akhir menghasilkan metana dalam jumlah yang sangat besar,” kata Satya Hangga Yudha Widya Putra, penasihat Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I), Jumat 4 Oktober 2019.
Menurutnya, metana adalah gas rumah kaca yang lebih kuat daripada karbondioksida (CO2), yang dapat memperburuk konsekuensi negatif pada pemanasan global, yaitu perubahan iklim.
BACA JUGA: Inovasi Mengolah Sampah Jadi Listrik
Selaku pihak yang konsentrasi di bidang energi dan lingkungan, Satya mengungkap dari 30 kilogram sampah makanan yang dihasilkan setiap harinya mengeluarkan zat metana yang faktanya punya kekuatan 100 kali lebih kuat pengaruhi perubahan iklim dan lingkungan.
"Jujur saya dari konferensi energi dan perubahan iklim nasional, isu sampah makanan yang tidak sering disentuh banyak orang," ungkapnya.
BACA JUGA: Walhi Jatim: Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Surabaya Belum Efektif
Di sisi lain, CEO dan Co-Founder Ranum Farm Azmi Basyarahil mengatakan berperang dengan food waste bisa dilakukan dengan membangun ekosistem pertanian yang lestari dan saling menguntungkan bagi konsumen dan petani. Misalnya menjadikan hasil pertanian lokal lebih sehat dan berkualitas.
"Mari bergotong royong, fokus untuk terus mengkampanyekan cara baru dalam mengonsumsi pangan. Kenali siapa penanamnya, ketahui kisah perjalanan pangan kita sendiri," sebut Azmi.